Surti baru saja usai sholat tarawih. Pikirannya mulai terganggu oleh pesan kultum malam ini. Puasa baru saja memasuki putaran 10 hari kedua. Shaf sholat tarawih mulai berkurang, semakin maju. Sementara banyak orang makin rajin berburu kuliner buka puasa. Dalihnya, buka puasa bersama.
Surti mulai merasa risih. Pikirannya terganggu. Hatinya makin terusik. Hari-hari ini puasa tak lagi seperti di awal. Euforia puasa mulai menghilang. Tukang ketoprak, tukang bubur ayam sudah mulai buka seperti biasa. Denyut nadi suasana puasa mulai mengendor. Ibadah demi ibadah perlahan menyusut. Ramadhan, tak lagi seperti waktu ditunggu kemarin. Urusan dunia menguat lagi. Prihatin dan iman kita terus dirongrong nafsu diri sendiri, begitu batin Surti.
Surti merenung. Batinnya berdialog dengan dirinya sendiri. “Lalu apa yang sebenarnya yang dikejar manusia?” pikir Surti.
Sambil bersandar di kursi ruang tengah. Surti berpikir. Sambil menatap ke sinar lampu.
“Sungguh, mengejar dunia itu tidak akan pernah berakhir. Ambisi. Angan-angan menghantui ego manusia. Banyak terjebak pada rutinitas kehidupannya kembali. Mencari uang, mengumpulkan harta. Hingga menebar nafsu kekuasaan. Nafsu duniawi. Hingga mereka, hampir lupa pada kematian” Surti membatin lagi.
Malam ini Surti tak punya teman ngobrol. Suaminya Tono lebih senang uzlah, menyendiri sambil mendekat kepada Allah. Istirahat dari aktivitas dunia. Memperbanyak tadarus, zikir di bulan puasa. Sebuah tradisi yang mulai banyak ditinggalkan orang.
Surti pun berusaha memahami apa yang dikerjakan suaminya.
“Katanya bulan puasa, bulannya refleksi diri. Tapi mengapa masih banyak orang yang tidak mau merenungkan dirinya. Refleksi diri. Atas salah dan dosa yang telah dibuatnya. Tiap hari bekerja. Bersaing. Mencari kemenangan. Tiap menit, tiap jam hanya untuk mengejar dunia. Memburu dunia yang takkan pernah ada habisnya. Entah, apa yang ingin mereka capai? ” batin Surti makin menderu.
“Apa sebenarnya yang hendak dicari manusia dalam hidupnya?” batinnya.
Memang betul, manusia butuh uang. Harta. Bahkan kekuasaan. Tapi itu bukanlah segalanya. Semakin ngotot mengejar dunia, maka semakin jauh dari Allah SWT. Pantas, makin banyak orang menjadikan “puncak gunung” sebagai tujuan. Tapi sedikit yang menjadikan “puncak gunung” sebagai bagian dari perjalanan. Hingga akhirnya, mereka kehilangan jati dirinya sendiri. Surti terus merenungi tentang arti hidup.
Di malam-malam ramadhan ini, pikiran Surti terus terganggu. Ia menerawang sambil berkata dalam hati.
“Waktu kecil dulu, ibuku selalu menyuruh aku istirahat di saat lelah bermain. Mungkin itu yang mendasari manusia juga harus istirahat dari hiruk-pikuk kehidupan dunia. Istirahat sejenak untuk merenung. Ngaso untuk refleksi diri, self reflection. Refleksi diri tentang dari mana kita, siapa kita, dan mau ke mana kita sesungguhnya?" pikir Surti.
Pikiran Surti terus bergelayut. Memikirkan tentang hidup dan arti penting refleksi diri. Orang-orang yang tidak lagi menghargai waktu.
"Sungguh, manusia sering lupa. Waktu itu sangat penting. Bahkan karena waktu pun kita belum tentu bertemu lagi dengan bulan Ramadhan tahun depan. Waktu untuk refleksi diri, waktu untuk merenung. Waktu, sungguh kita sering lalai. Padahal, karena waktu 1 menit terlambat pun berapa banyak orang harus ketinggalan pesawat atau kereta. Berapa banyak orang yang terhindar dari kecelakaan karena ia telat beberapa detik saja. Sungguh, waktu sangat penting" Surti membatin lagi.
Sungguh di bulan puasa ini, harusnya menjadi momentum bagi kita untuk refleksi diri. Waktu untuk merenung atas apa yang sudah diperbuat sebelumnya, dan mau apa sesudahnya.
“REFLEKSI DIRI, memang kata yang sederhana. Tapi sulit dilakukan. Di bulan puasa. Atau di bulan lainnya, manusia sunggu perlu evaluasi diri. Agar sisa hidupnya makin berkualitas, makin bermakna” pikir Surti, “Mengapa manusia sering lupa untuk refleksi diri?”.
Surti sejenak mengambil Majalah di bawah meja. Membuka halaman demi halaman. Lalu, Surti berhenti pada satu artikel yang menarik. Seperti yang sedang dia pikirkan. Tentang refleksi diri.
Sambil membaca dalam hati, Surti mendapati cara untuk manusia untuk refleksi diri.
“Refleksi diri adalah momentum setiap insan. Merenung tentang apa yang telah dikerjakannya. Refleksi diri melalui 3 T, Tanpa 1 T. Merenung dengan cara Tafakur, Tadabur, Tasyakur tanpa Takabur”. Begitu teks bacaan yang dibaca Surti.
Surti melanjutkan bacaannnya. Serius untuk memahami maknanya. Untuk refleksi diri.
Tafakur. Untukmerenungi apa yang sudah dan belum kita lakukan? Untuk apa kita ada di dunia? Ke mana tujuan akhir kita? Tafakur berbicara dengan diri sendiri hingga mampu mendengarkan suara Allah SWT. Dengan tafakur, kita dapat mengubah pola pikir dalam menjalani kehidupan di dunia yang sementara ini.
Tadabur. Untuk merenungi kebesaran alam sebagai alat bantu kita memaknai hidup. Alam dan isinya adalah pembelajaran bagi kita. Mengapa ada malam dan mau apa kita di dalamnya? Tadabur mengajak kita mendengarkan nasihat alam, melunakkan hati dan pikiran kita.
Tasyakur. Untuk mensyukuri nikmat dan anugerah yang telah kita terima dari Allah SWT. Bersyukur atas apa yang kita miliki. Agar menjadi berkah menuju akhirat. Tidak hanya mengucap “syukur-alhamdulillah” tetapi diikuti kesediaan untuk merealisasikan dalam perilaku nyata yang baik; berbagi pada sesama, peduli sebagai fitrah hamba-Nya.
Tanpa Takabur. Untuk tidak merasa sombong. Tidak angkuh dalam hidup. Karena kita bukanlah siapa-siapa. Dan bahkan kita bukan apa-apa. Makhluk yang disuruh ikhtiar untuk menuju kematian.
Surti menyadari arti penting refleksi diri. Memaknai jati diri sebagai manusia.
“Refleksi diri adalah pengendalian diri agar tidak semakin terbelenggu oleh hawa nafsu. Agar tidak lupa menghitung diri (muhasabah) dalam ketaatan-Nya. Betapa indahnya hidup, jika kita mau meluangkan waktu untuk “refleksi diri”. Merajut harmoni hidup dalam nafas dunia dan akhirat. Itulah hidup. Memang kita harus fokus melihat ke depan, tetapi perlu sedikit melihat ke belakang. Agar semuanya terkendali dengan baik” batin Surti berdetak istighfar.
Tanpa disadari, bulir air mata Surti mulai mengalir. Ia menyesali atas apa yang sudah dibuatnya. Ingin memperkuat iman, menjaga akhlak yang baik. Di sisa waktu, di sisa umurnya.
"Sungguh, refleksi diri itu perlu. Untuk mengembalikan peran manusia dalam kehidupan yang sementara ini. Memulai dan memilih peran baru yang ingin dimainkannya. Sekaligus untuk menentukan bagaimana hidup manusia akan berakhir" Surti mulai tersadar.
Malam semakin larut. Surti semakin gusar. Ia terus merenung dan merenung. Tentang hidup, tentang iman dan amalnya. Kini Surti, semakin larut dalam belaian malam ramadhan. Agar bisa menjadi manusia yang terus mawas diri, merefleksi diri .... #PuasanyaSurti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H