Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puasanya Surti: Waktu Merefleksi Diri

9 Juli 2014   02:35 Diperbarui: 17 Juni 2016   23:03 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surti baru saja usai sholat tarawih. Pikirannya mulai terganggu oleh pesan kultum malam ini. Puasa baru saja memasuki putaran 10 hari kedua. Shaf sholat tarawih mulai berkurang, semakin maju. Sementara banyak orang makin rajin berburu kuliner buka puasa. Dalihnya, buka puasa bersama. 

Surti mulai merasa risih. Pikirannya terganggu. Hatinya makin terusik. Hari-hari ini puasa tak lagi seperti di awal. Euforia puasa mulai menghilang. Tukang ketoprak, tukang bubur ayam sudah mulai buka seperti biasa. Denyut nadi suasana puasa mulai mengendor. Ibadah demi ibadah perlahan menyusut. Ramadhan, tak lagi seperti waktu ditunggu kemarin. Urusan dunia menguat lagi. Prihatin dan iman kita terus dirongrong nafsu diri sendiri, begitu batin Surti.

Surti merenung. Batinnya berdialog dengan dirinya sendiri. “Lalu apa yang sebenarnya yang dikejar manusia?” pikir Surti.

Sambil bersandar di kursi ruang tengah. Surti berpikir. Sambil menatap ke sinar lampu.

“Sungguh, mengejar dunia itu tidak akan pernah berakhir. Ambisi. Angan-angan menghantui ego manusia. Banyak terjebak pada rutinitas kehidupannya kembali. Mencari uang, mengumpulkan harta. Hingga menebar nafsu kekuasaan. Nafsu duniawi. Hingga mereka, hampir lupa pada kematian” Surti membatin lagi.

Malam ini Surti tak punya teman ngobrol. Suaminya Tono lebih senang uzlah, menyendiri sambil mendekat kepada Allah. Istirahat  dari aktivitas dunia. Memperbanyak tadarus, zikir di bulan puasa. Sebuah tradisi yang mulai banyak ditinggalkan orang.

Surti pun berusaha memahami apa yang dikerjakan suaminya.

“Katanya bulan puasa, bulannya refleksi diri. Tapi mengapa masih banyak orang yang tidak mau merenungkan dirinya. Refleksi diri. Atas salah dan dosa yang telah dibuatnya. Tiap hari bekerja. Bersaing. Mencari kemenangan. Tiap menit, tiap jam hanya untuk mengejar dunia. Memburu dunia yang takkan pernah ada habisnya. Entah, apa yang ingin mereka capai? ” batin Surti makin menderu.

“Apa sebenarnya yang hendak dicari manusia dalam hidupnya?” batinnya.

Memang betul, manusia butuh uang. Harta. Bahkan kekuasaan. Tapi itu bukanlah segalanya. Semakin ngotot mengejar dunia, maka semakin jauh dari Allah SWT. Pantas, makin banyak orang menjadikan “puncak gunung” sebagai tujuan. Tapi sedikit yang menjadikan “puncak gunung” sebagai bagian dari perjalanan. Hingga akhirnya, mereka kehilangan jati dirinya sendiri. Surti terus merenungi tentang arti hidup. 

Di malam-malam ramadhan ini, pikiran Surti terus terganggu. Ia menerawang sambil berkata dalam hati. 

“Waktu kecil dulu, ibuku selalu menyuruh aku istirahat di saat lelah bermain. Mungkin itu yang mendasari manusia juga harus istirahat dari hiruk-pikuk kehidupan dunia. Istirahat sejenak untuk merenung. Ngaso untuk refleksi diri, self reflection. Refleksi diri tentang dari mana kita, siapa kita, dan mau ke mana kita sesungguhnya?" pikir Surti.

Pikiran Surti terus bergelayut. Memikirkan tentang hidup dan arti penting refleksi diri. Orang-orang yang tidak lagi menghargai waktu.

"Sungguh, manusia sering lupa. Waktu itu sangat penting. Bahkan karena waktu pun kita belum tentu bertemu lagi dengan bulan Ramadhan tahun depan. Waktu untuk refleksi diri, waktu untuk merenung. Waktu, sungguh kita sering lalai. Padahal, karena waktu 1 menit terlambat pun berapa banyak orang harus ketinggalan pesawat atau kereta. Berapa banyak orang yang terhindar dari kecelakaan karena ia telat beberapa detik saja. Sungguh, waktu sangat penting" Surti membatin lagi.

Sungguh di bulan puasa ini, harusnya menjadi momentum bagi kita untuk refleksi diri. Waktu untuk merenung atas apa yang sudah diperbuat sebelumnya, dan mau apa sesudahnya.

“REFLEKSI DIRI, memang kata yang sederhana. Tapi sulit dilakukan. Di bulan puasa. Atau di bulan lainnya, manusia sunggu perlu evaluasi diri. Agar sisa hidupnya makin berkualitas, makin bermakna” pikir Surti, “Mengapa manusia sering lupa untuk refleksi diri?”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun