“Jadi secara moral, esensi mudik bagi kita apa Mas?” rasa penasaran Surti masih belum berakhir.
“Sangat esensial. Mudik itu sangat sakral. Dan punya esensi moral bagi pelakunya. Niat baiknya, mereka mereposisi kembali hakikat HIDUP-nya untuk berpegang pada 4 filsafat hidup manusia. Pertama, LEBARAN sebagai tanda “selesainya” kewajiban kita dalam berpuasa, tarawih, dan zakat. kedua, LUBERAN sebagai tanda “melimpahnya” rezeki kita untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan, air yang melimpah pasti tumpah ke bawah. Ketiga, LEBURAN sebagai tanda “melebur kesalahan” dengan cara saling bermaafan. Dan keempat, LABURAN sebagai tanda “memutihkan” diri untuk senantiasa menjaga kebersihan diri lahir dan batin" jelas Tono.
Mendengar penjelasan suaminya, Surti menganggukkan kepala. Tanda setuju dan betapa pentingnya mudik. Bagi Surti, setiap tempat mudik adalah tempat kembalinya manusia, kembali ke pangkuan-Nya. Mudik menjadikan manusia "sadar diri". Sadar ketika kita lahir, tak bawa apa-apa, tak ada kuasa apapun. Maka mudik, simbol bahwa manusia bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Begitu batin Surti mengakhiri obrolan.
"Sungguh, mudik itu bukan hilir mudik. Tapi pengakuan jiwa untuk berubah dan menjadi lebih baik. Maka mudik tak perlu membawa kesombongan, keangkuhan. Tapi mengembalikan diri ke tempat asalnya. Mudik lewat jiwa saja, bukan hanya lahir semata" dalam hati Surti.
Surti pun terdiam haru. Sambil sedikit menetes air matanya ... #PuasanyaSurti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H