Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puasanya Surti: Kehormatan Manusia

21 Juli 2014   04:23 Diperbarui: 11 Juni 2016   20:31 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang ada di benak pikiran Surti dari malam-malam puasa yang telah dilewati?

Surti mempertanyakan tentang sesuatu yang abstrak. Tapi sering disebut banyak orang. Sering diuber, dicari banyak manusia. Walau secara makna agak sulit dijelaskan. Ya, tentang KEHORMATAN, the honor. Kehormatan, yang diburu banyak manusia. 

"Apa sebenarnya kehormatan?” batin Surti.

Tentu, kehormatan bukanlah kekuasaan. Kehormatan juga bukan kesuksesan. Walau diyakini banyak orang bahwa kekuasaan atau kesuksesan bisa menjadi alat untuk mencapai kehormatan.

Ahhh, kehormatan... begitu gumam Surti.

"Sungguh, kehormatan adalah kesetiaan seseorang dalam menjalankan kebenaran. Sehingga akhirnya memperkuat martabat dirinya dalam memegang prinsip kebenaran" pikir Surti. Maka ketika itulah, seseorang berhak menyandang predikat sebagai orang terhormat. Di saat yang sama, harga diri seseorang itulah yang akan selalu menjaga agar “tetap terhormat’.

[caption caption="Kehormatan manusia"][/caption]

Surti terus berpikir. Sambil merenungin indahnya bulan puasa. Bulannya introspeksi diri, bulan yang penuh hikmah dan berkah.

"Mengapa harus harga diri yang menjaga kehormatan?" Surti membatin lagi.

Ya. Karena harga diri adalah sikap yang dipegang seseorang dalam usahanya menjaga kehormatan. Harga dirilah yang membuat kita selalu konsisten dalam berusaha di atas kaki sendiri. Dari niat, ikhtiar, bekerja, makan, dan selalu muhasabah diri. Semuanya dikerjakan secara tulus, sesuai kemampuan. Bukan hanya dipikirkan dan selalu dikeluhkan. Harga diri yang membuat kita, tidak akan pernah dan tidak mau bergantung pada orang lain.

“Lalu, apa hubungannya kehormatan dengan orang yang terhormat?” pikir Surti lagi.

Tentu berhubungan, pikir Surti. Akibat setia dalam menjalankan kebenaran, kita pantas menjadi orang terhormat. Terhormat adalah kedudukan moral yang diterima sebagai konsekuensi atas kesetiaan pada kebenaran. Karena perilaku kita dalam menghargai orang lain dalam prinsip kebenaran, dengan sikap yang baik. Tak peduli siapa orangnya. Tak peduli karena jabatan, harta, kekuasaan dan atau kekayaan. Terhormat, karena penghargaan moral sesama manusia.

“Lalu, apakah kehormatan sama dengan gila hormat?” pikirnya kemudian.

“Sungguh TIDAK. Kehormatan sama sekali berbeda dengan gila hormat. Kehormatan hanya diperoleh dari perilaku yang konsisten dalam menjaga martabat yang berdasar pada kebenaran. Sekali lagi, kebenaran di atas, baru kemudian kebaikan dan norma yang berlaku” pikir Surti. “Sedangkan gila hormat, hanya pantas disematkan kepada orang yang senantiasa ingin dihormati padahal perilakunya tidak benar, tidak bermartabat. Melakukan sesuatu yang membuat dirinya “tidak terhormat” tapi ingin diperlakukan sebagai orang terhormat. Itulah gila hormat” sergah batin Surti lagi.

“Lalu, mengapa kehormatan begitu mudah jadi kehancuran?” batin Surti bertanya.

“Sederhana sekali, kehormatan yang melekat pada seseorang memang mudah berubah menjadi kehancuran. Kapan? Tatkala kita bersikap, berperilaku atau merasa tidak bisa melihat kebenaran yang hakiki. Ketika kita terlalu mudah “membuang” kebenaran, ketika itu pula kehormatan akan pergi. Atau di saat kita merendahkan KEHORMATAN kita sendiri”.

Surti terus membatin. Satu soal tentang kehormatan. Nilai moral yang mudah melekat pada diri manusia. Tapi juga mudah lepas dalam sekejap mata.

“Apakah kehormatan manusia sangat bergantung paa keadaan dirinya?” batin Surti lagi.

“Ya. Kehormatan sangat bergantung pada keadaan. Tapi ketahuilah, setiap manusia tidak bisa dipisahkan dari KEADAAN. Dan keadaan hanya ada 2 pilihan; 1) KEADAAN yang kita ciptakan sendiri atau 2) KEADAAN yang diciptakan orang lain. Maka dalam keadaan apapun, manusia hanya bertugas menjalani kehidupannya dengan benar.”

“Loh, kalau begitu tugas manusia itu apa?”

“Tugas manusia adalah bertahan dalam hidup sampai selesai secara normal dipanggil oleh Allah SWT, tanpa boleh menyerah pada segala tantangan atau hambatan. Dan tetap berpegang pada kebenaran. Itu saja”. Surti pun mengakhiri dialog batinnya malam ini.

Sungguh, KEHORMATAN menjadi sikap dan perilaku yang harus dijaga dan tak boleh mati. Setiap manusia harus menghormati kemanusiaannya agar menjadi orang terhormat yang pantas untuk dihormati. Dan kehormatan itu adalah diri kita sendiri. Tanpa perlu merendahkannya...

Sungguh kehormatan manusia, banyak yang memburunya. Tanpa tahu cara meraih dan menjaganya....#Puasanya Surti

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun