[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com/AFP PHOTO / ADEK BERRY)"][/caption]
Surti baru saja membereskan sajadah. Seusai sholat Maghrib, setelah berbuka puasa. Seperti biasa, ia selalu mencari kesibukan. Sambil menantikan waktu Sholat Tarawih, ia membaca majalah Islami. Bukan majalah baru, yang terdampar di bawah meja ruang tamu. Arah matanya tertuju pada satu pepatah menarik yang belum pernah dibacanya. Batinnya tersentak, ketika membaca pepatah, “Orang yang terbiasa berada dalam kegelapan, cahaya terang sangat menyilaukan”. Sungguh, kalimat indah yang belum pernah ia baca. Surti pun menyimpan dalam hatinya, dalam pikirannya.
Tak lama, Tono suaminya menghampiri. “Sedang membaca apa Bu?” tanyanya santai.
“Lho kok begitu Bu. Menurut saya, HIDAYAH itu jangan ditunggu, tapi harus dijemput. Kita harus menjemput HIDAYAH. Karena kita telah menjalani ibadah puasa dengan sebaik-baiknya. Kita pantas menjemput hidayah Allah” jawab Tono.
Surti agak terheran. “Mengapa kita harus menjemput hidayah Mas?” tanyanya.
“Iya Bu. Karena tidak ada yang dapat mewakilkan diri kita untuk menjemput hidayah-Nya. Kita sendiri yang harus berusaha meraihnya, mencarinya. Dan bahkan membuka hati untuk menerima “cahaya keimanan” dari Allah SWT. Ibadah Puasa sebulan penuh melatih kita untuk meraih hidayah-Nya. Selama puasa, kita aktif dalam aktivitas yang mampu "menyeret" kita kepada telaga keimanan kepada-Nya. Maka, hidayah pun akan segera menghampiri kita,” terang Tono.
“Lalu bagaimana cara kita bisa menjemput hidayah-Nya?” Surti penasaran.
“Jawabannya adalah IKHTIAR. Hidayah tak mungkin diraih hanya dengan duduk diam. Sambil duduk tersipu dan menangis. Mengharapkan ada makanan turun dari langit, tanpa bayar dan serta merta menjadi kenyang. Semua yang kita ingin raih harus kita jemput, caranya dengan IKHTIAR atau USAHA. Begitu pula jika kita ingin mendapatkan Hidayah, banyak cara yang harus dilakukan untuk menjemputnya.”
Surti terdiam. Ia setuju dengan alasan suaminya. “Iya Mas. Tapi bagaimana caranya?” tanyanya lagi.
“HIDAYAH itu seperti orang yang sedang berpuasa mencari makanan untuk buka puasa saat Maghrib tiba. Setiap orang berakal dan berilmu tahu bagaimana cara mendapatkan makanan. Mereka akan tahu bagaimana cara membuat kenyang secara halal dan benar. Mereka pasti tidak membiarkan dirinya mati dalam keadaan lapar. Berjuang untuk meraih makanan berbuka di saat puasa walau perut sedang lapar, itulah cara menjemput hidayah,” tukas Tono.
“Tapi kita kan berpuasa untuk Allah SWT. Maka kita harusnya dimudahkan-Nya?” tanya Surti lagi.
“Belum tentu Bu. Jangan sangka bahwa orang yang berpuasa, rajin sholat, ditambah ibadah-ibadah sunnah lainnya pasti mendapat hidayah Allah. Belum tentu. Hidayah juga menuntut sikap istiqomah kita dalam meraihnya. Jadi, HIDAYAH tidak serta merta diberikan Allah kepada hamba-Nya. Namun harus ada usaha dan kerja keras. Termasuk dalam melewati ribuan godaan dan cobaan hidup,” jawab Tono.
“Tapi Mas, bukankah dengan ibadah puasa kita sudah dilatih untuk menjemput hidayah?” tanya Surti.
“Ibadah puasa, sesungguhnya melatih kita untuk menahan diri, menahan hawa nafsu. Saat berpuasa kita dilatih meninggalkan kebiasaan yang telah bertahun-tahun dilakukan. Kita dipaksa berubah lewat puasa. Dan itu tidak mudah. Maka hidayah setelah puasa adalah kita harus mau meninggalkan kebiasaan buruk untuk berganti dengan kebiasaan baik. Memang tak mudah, tapi bukan berarti tak bisa. Bila ada niat berubah, maka kita telah menjemput hidayah-Nya,” papar Tono.
“Maksudnya gimana mas?” tanya Surti lagi.
“Bu, saat ini banyak manusia yang berlomba-lomba menghambakan diri pada harta, tahta, bahkan wanita. Banyak dari kita yang berani berkorban untuk kenikmatan dunia, yang sifatnya sementara. Sungguh ironis, kita rela menukar manisnya IMAN demi kebahagiaan dunia. Menjemput HIDAYAH itu berarti kita harus berubah dari orientasi duniawi yang berlebihan kepada orientasi ukhrowi. Jemputlah akhirat kita melalui dunia kita” jawab Tono.
“Ketahuilah Bu. Hidayah Allah hakikatnya mengajak kita untuk berubah menjadi lebih baik. Hidayah bukan barang gratisan, ia harus dijemput. Salah jika kita menyangka Allah belum memberi hidayah. Padahal, hidayah Allah bertebaran dimana-mana, di setiap waktu, di setiap tempat dan di setiap peristiwa. Ibarat TV, hidayah adalah usaha kita menyalakannya agar bisa ditonton. Ibarat Majelis Ilmu, hidayah adalah usaha kita untuk rajin mendatanginya,” sambung Tono lagi meyakinkan istrinya.
"Dan satu lagi Bu. Pintu HIDAYAH Allah itu selalu terbuka untuk siapa saja. Tidak kenal pangkat atau jabatan. Hanya sayang, banyak dari kita hanya terpaku pada satu pintu yang tertutup. Kita terlalu lama berdiam pada pesimisme, terlalu meratapi keadaan sendiri. Sehingga tidak mampu melihat pintu lain yang dibukakan Allah untuk kita" tambah Tono lagi.
Kini Surti hanya bisa diam. Dia terpukau pada penjelasan suaminya. Surti mulai memahami arti sebuah hidayah. Selalu ada kesempatan untuk menggapainya. Tinggal aku mau atau tidak mengubah diri setelah puasa ini untuk meraih hidayah, kata batinnya.
“Ada miliaran cara Allah SWT memberi hidayah bagi hamba-Nya. Tinggal manusia, mau atau tidak menjemput hidayah-Nya. Sungguh, tidak ada manusia yang ingin selalu berbuat maksiat, berbuat dosa. Pasti ada saatnya untuk berbuat baik. Asalkan ada kemauan untuk berubah, itulah saat kita menjemput hidayah-Nya,” pikir Surti.
Tanpa terasa waktu sholat Isya tiba. Surti harus bersiap diri. Menjemput hidayah Allah. Surti pun mengakhiri obrolan dengan suaminya sambil berdoa dalam hati, " Ya Allah, sinarilah hati kami dengan cahaya hidayah-Mu sebagaimana engkau karuniakan cahaya kepada matahari dan bulan. Dan janganlah engkau sesekali membolak-balikkan hati kami setelah engkau masukkan cahaya di dalamnya. Amin".
Surti membasuh mukanya, bersyukur. Optimis meraih hidayah-Nya ... Insya Allah. #PuasanyaSurti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H