Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Relasi Agama - Pancasila, Kontroversi Ketua BPIP Prof Yudian Wahyudi

16 Februari 2020   04:51 Diperbarui: 16 Februari 2020   08:09 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Polarisasi politik aliran di negeri ini nampaknya tak ada ujungnya. Di sisi lain, upaya memajukan negeri ini terus dilakukan. Untuk itu, ada banyak faktor yang diperlukan. Antara lain, hadirnya sang mesias, juru selamat. 

Tadinya, politisi "ndeso" Joko Widodo masuk kategori itu. Oleh almarhum KH Hasyim Muzadi, Jokowi masuk kategori figur yang "dikirim" Tuhan buat menyelamatkan negeri. Berbulan-bulan Kyai Hasyim sempat mengirim intelnya dari NU, untuk menyelidiki siapa anak tukang kayu dari Solo itu. Waktu itu, Jokowi dikategorikan kiriman Tuhan. Karena, dari figur yang bukan siapa-siapa, tak ada juriat keturunan siapa-siapa, ujug-ujug bisa menjadi Walikota yang disukai rakyat. Belum selesai tugasnya sebagai walikota, bisa jadi gubernur. Itu sebabnya Kyai Hasyim full terlibat, dan alhamdulillah menang. Sayang usia beliau tidak panjang, Kyai Hasyim wafat. Ayoo ... kita sama-sama hadiahkan al-Fatihah ... Lahul Fatihan.

Sayang hari ini, Sang Mesias ini mulai mengecewakan banyak pihak. Pertama, dia tak terlalu berani melawan oligarki kekuasaan, entah pemodal, juga partai politik. Ini tercermin dari kabinet yang disusunnya. Nampak kuatnya pemodal, dan oligarki kekuasaan politik. Meski masih ada tawar menawar.

Kedua, Jokowi hanya suka membangun branding diri. Mungkin juga kelompoknya (?) Contoh, saat menghadapi kaum Islam militan, ia masih setengah hati. Jokowi nampak rada takut jika sampai dituding anti Islam. Maka itu tak heran, jika terhadap kelompok yang rajin bergerilya memprovokasi ummat mengajak gabung ke faham yang sesungguhnya berlawanan dengan Pancasila sebagai dasar negara, agak dibiarkan. Berbeda misalnya dengan kelompok, seperti Kerajaan-kerajaan baru di negeri ini, tak butuh waktu lama langsung diintrogasi

Jokowi juga terlalu ingin membangun histori diri. Dia bangun infrastruktur besar-besaran. Ia pindah ibukota negara. Ia angkat figur-figur fenomenal yang dianggapnya mampu mengangkat rezimnya. Ia purun mengabaikan NU, yang sudah mati-matian membelanya. Ia juga berani beda dengan partainya, PDI-P. 

Saat pembentukan kabinet, Jokowi menyerahkan Menteri Pertahanan pada Prabowo, rival politik dari partai berbeda. Padahal pasal 8 ayat 3 UUD 1945, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan bisa menjadi pelaksana tugas kepresidenan, jika Presiden dan Wakil Presiden sedang tak dapat menjalankan tugasnya. 

Jokowi sepertinya hanya berpikir kebesaran, dan historinya di masa depan. Dalam konteks ini muncul sejumlah pertanyaan, dengan banyaknya masalah yang dihadapi, mampukah Jokowi mengatasi persoalan berbangsa dan bernegara hari ini. Terlebih untuk mengatasi polarisasi politik? Nampaknya, banyak yang meragukan. 

Langkah Nekad

Salah satu wadah untuk mengatasinya, adalah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, disingkat BPIP. Maka itu Jokowi putar otak, mencari figur pemimpinnya. Nama Prof. KH. Yudian Wahyudi, MA, PhD, orang Banjar yang besar di Kaltim dianggap orang yang tepat. 

Dalam track recordnya, anak tentara zaman revolusi itu terkenal galak jika sudah berhadapan dengan kaum anti Pancasila. Maka itu ditunjuklah Rektor UIN Yogyakarta ini untuk  memimpin BPIP, menggantikan Yudi Latif, yang terlalu kalem dan akademik. Sudah pasti pemilihan ini dengan pertimbangan yang matang. Apalagi saat menjadi Rektor, Prof Yudian pernah membuat kebijakan kontroversial, melarang mahasiswinya bercadar. 

Berdasar dokument yang ada, Yudian tergolong anak cerdas. Karena suka tawuran saat di SLTP, ia dikirim ke Pesantren Termas. Ia kemudian meneruskan ke Krapyak dan kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, juga di Filsafat UGM. Yudian sedikit dari orang yang mendapat kepercayaan negara studi di Amerika. Ia bisa menembus Harvard Law School, setelah sebelumnya menyelesaikan program doktor di McGill University, Kanada, universitas terkemuka di dunia.

Prof Yudian ahli hukum, juga ahli filsafat. Ia menulis buku lebih dari 50 buah, umumnya berbahasa Arab dan berbahasa Inggris. Dua buah bukunya bahkan berbahasa Perancis. Sebagai lulusan pesantren, ia pasti ahli agama. Maka itu tak mungkinlah ia melecehkan agama Islam yang diyakininya. Jika kemudian statementnya digoreng, dianggap memusuhi agama, itu karena plinteran media. Prof Yudian hanya mengkritik, orang yang suka mereduksi agama untuk melawan Pancasila. 

Sebagai ahli hukum, Prof Yudian pasti tau aturan. Sebagai ahli filsafat, tentu banyak pikiran briliant yang meluncur darinya. Masalahnya, Yudian menjadi pejabat di saat dunia sudah semakin sempit, "the global village". Maka orang begitu mudah berteriak, dan bisa di dengar di mana-mana. Kasus reduksi agama vs Pancasila ini contohnya. Bagi para oposan, inilah moment yang tepat untuk membully bahwa rezim Jokowi makin buruk. Mengangkat pejabat yang melecehkan agama. Jika kaum Kadal Gurun (Kadrun) saja yang ribut tentu tak masalah. Ini teman-teman yang berpendidikan tinggi. Bagaimana bisa ? Iya, karena polarisasi politik yang belum sembuh, dan justru semakin parah.

Gebrakan Komunikasi Publik

Meski sama-sama orang Banjar, sama-sama pernah dawuh mencari berkah di pesantren Krapyak, bahkan sama-sama pernah kuliah di Kampus Putih IAIN Sunan Kalijaga, serta di Kampus Biru Universitas Gadjah Mada (dengan jurusan yang semuanya berbeda), saya sama sekali tak pernah kenal pribadi. Saya hanya kenal namanya. Terlebih setelah yang bersangkutan sebagai alumni PMII Cabang Yogyakarta bisa menoreh sejarah baru mampu menjadi Rektor di almamater sendiri.

Sebagai ilmuan, pastilah Prof Yudian rajin belajar, membaca buku. Walau bukan di jurusan Ilmu Komunikasi, minimal setelah ditunjuk memimpin BPIP, ia ingin memancing publik ini. Apalagi BPIP, lembaga yang dipimpinnya itu tak sehebat BP-7 era Soeharto. BPIP cuma pernah ramai, karena gaji yang diberikan terlalu besar. Tak sesuai dengan kiprah dan hasil karyanya.

Maka itu, dengan ilmu yang dimilikinya, Prof Yudian belum seminggu dilantik menjadi Ketua BPIP, tancap gas. Menerapkan teori komunikasi yang bisa memancing publik. Nampaknya, format kecenderungan media yang digunakan membawa hasil. Public heboh. Sekretaris MUI ikut heboh. Seperti lazimnya selama ini, pasukan kadal gurun pun ramai-ramai berteriak galak dan lantang, "Pecat Prof Yudian, Bubarkan BPIP". 

Prof Yudian mungkin hanya senyum-senyum melihat fenomena ini. Implementasi teori "sentrifital versus sentripugal" dalam praktek komunikasi sukses diterapkan. Teori ini dikenalkan ditahun 1960-an, oleh Prof. Denis McQuail, Guru Besar Universitas Amsterdam, Belanda. Melalui bukunya "Mass Communication Theory", McQuail menyebut, teori ini menampilkan pertantangan value. Satu pihak sentrifugal yang memunculkan keunggulan gagasan perubahan, kebebasan dan keanekaragaman.  Pihak lain, sentripital mengunggulkan ketenangan, kontrol, persatuan dan keterpaduan kohesi. 

Pemilihan salah satu dari teori ini tentu saja akan memunculkan ruang positive dan negative. Tergantung bagaimana publik menerimanya. Tetapi, minimal pada tahap awal, ada responsif simultan. Sehingga ide besar terhadap masalah yang diusahakan tersosialisasikan. Harapannya tentu saja ada kesadaran bersama banyak pihak, untuk merapikan ulang relasi agama dan Pancasila. 

Era pancaroba seperti sekarang, di mana orang kadang cuek, apatis bahkan antipati, pancingan menjadi urgent. Praktek interaktif, orang mencaci komunikator itu sudah sebuah keberhasilan. Bayangkan jika ada seorang pengkhotbah (komunikator) yang sudah  berbusa-busa ceramah, sedang hadirin (komunikan) ngantuk semua, ya rugilah. Gagal. Sang komunikator bisa sakit hati. Membuat orang mau merespon itu susah. Apalagi jika dari awal sudah antipati. Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi, jika mampir ke sebuah desa, sekadar mau bertanya alamat, tapi tak direken. Mending orang mau menjawab, walau dengan nada marah. Artinya sudah nyambung. 

Apakah Prof Yudian sengaja ? Mungkin (!). Tetapi sebagai Ketua BPIP yang baru, dia sudah sukses. Tinggal menindak-lanjuti. Tinggal konsolidasi internal tim BPIP, sambil nunggu respon publik yang hari ini memang seperti pasar bebas. Tim BPIP lah yang bisa memilahnya. 

Selamat bekerja Prof KH. Yudian Wahyudi, PhD. Pengabdian sampean gasan nusa dan bangsa terbuka lebar. Negara hesar ke-4 di dunia. Tentu juga buat agama yang menjadi fondasinya. Mudahan sampean disehatkan, dan dimudahkan dalam segala urusan. Aamiin ... !! 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun