Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menolak WNI Eks ISIS, Risiko Besar bagi Negeri Ini

10 Februari 2020   22:13 Diperbarui: 11 Februari 2020   02:10 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Sudah lebih seminggu ini pesan berantai itu terus dipublish. Ya melalui pesan pendek, seperti WhatsApp  (WA), Facebook (FB), dan beragam media sosial lainnya. Judulnya sangat bombastis, "9 Kesalahan Fatal Eks WNI Kombatan ISIS yang akan kembali ke Tanah Air". Jika tuh judulnya ada yang berubah, substansinya tetap sama, soal kesalahan pejuang ISIS asal nusantara.

Ditulis dan dipaparkan dengan baik, disebutkan bahwa ke-sembilan kesalahan Kombatan ISIS asal nusantara tersebut mereka sebut satu demi satu, yakni :

  1. Menolak PANCASILA dan UUD 1945

  2. Mengusung Khilafah

  3. Tidak mengakui Pemerintahan yang sah

  4. Melepas kewarganegaraan yang Indonesia

  5. Membakar pasport

  6. Meninggalkan Keluarga

  7. Menghasul warga Negara Indonesia

  8. Memecah belah NKRI

  9. Mengusung Konsep Negara Islam di Tanah Air

Atas dasar itu, dan atas dasar UU kewarganegaraan, maka sejumlah komunitas di negeri ini MENOLAK KERAS pemulangan ks WNI Kombatan ISIS, untuk kembali ke Tanah Air. 

Selain itu, dengan bagus pula mereka membandingkan, Kombatan ISIS asal nusantara itu hanya 600 orang, dibanding 260 juta jiwa penduduk Indonesia saat ini, angka ini jauh tak seimbang. Karenanya, biarkan saja psikopat ISIS asal nusantara itu terlunta-lunta di negeri orang. Rakyat Indonesia bisa menjadi korban bila kelak mereka dipulang.

Menolak ramai-ramai

Sesungguhnya, penolakan terhadap mantan pejuang ISIS yang kini tengah ditahan di camp-camp Suriah itu, merebak di mana-mana. Tak hanya warga dan aktivis NU yang sejak awal murka jika ada warga negara Indonesia pergi ke Suriah, melainkan kini bak kor muncul dari segala lapisan masyarakat. Hampir semua aliran dan faham keagamaan. Islam dan non-Islam, aktivis NGO, dosen, wartawan, pengacara, dan lain sebagainya. Alasan mereka relative sama, resiko yang akan ditanggung rakyat jika para Kombatan ISIS itu dipulangkan.

Menyikapi hal itu, sekitar seminggu yang lalu, melalui facebook, saya sempat berwacana pendek. "Rusia mengangkut 200-an anak camp di Suriah, menggunakan pesawat carter. Sedang Kazakhstan telah memulangkan 230 anak-anak. Indonesia ... ?? 

Kontan saja saya dapat pencerahan dari banyak pihak. Antara lain, itu cuma provokasi Barat. Mereka sudah bukan WNI lagi. Indonesia lebih aman tanpa kombatan ISIS. Serta sejumlah ide segar dan briliant lainnya. Tak hanya itu, saya pun mendapatkan foto tenang anak-anak pejuang ISIS dengan uniform tentara, sembari tak lupa memanggul senjata. Bahkan, ada pula yang nyinyir, menyebut saya "sok pahlawan".

Karena saya faham suasana psikologis, maka saya hanya manggut-manggut, bilang iya. Apalagi dalam dialog itu ada salah kaprah. Saya hanya "membela" anak-anak ISIS. Konsep anak di sini adalah yang usianya di bawah lima tahun, maksimal sepuluh tahun. Mereka secara psikologi belum remaja. Tetapi respon mereka semuanya ISIS, yang yang disebut-sebut telah melanggar 9 kesalahan di atas.    

Saya sendiri kaget dan baru tahu jika ada sekelompok orang yang juga meminta negara memberikan ijin kepulangan kombatan ISIS itu. Karenanya saya sempat singgung banyak pihak, mana pedulinya? Ternyata, sudah ada suara dari Komnas HAM, dari parlemen, dalam hal ini politisi PKS, Haji Mardani Ali Sera. 

Percayakan Negara

Sesungguhnya tak ada hubungan antara saya dengan mereka itu. Dalam hal ideologi berbangsa, saya ikut Keputusan Muktamar NU tahun 1984, Indonesia adalah negara final. Maka itu selama puluhan tahun, saya ikut berdebat dengan orang HTI yang berniat merubah bentuk negara dari Pancasila ke Khilafah. Dari negara demokrasi berbentuk republik, menjadi negara Islam.

Tentu saja saya tak sepakat dengan ideologi ISIS itu. Jika hari ini saya cenderung membela anak pejuang ISIS asal nusantara, setidaknya oleh dua hal. Pertama, ideologi Pancasila dan UUD 1945 memang mengamanahkan negara untuk menyelamatkan warganya. Kedua, ajaran agama saya, Islam Ahlussunnah wal-jamaah an-nahdliyah juga menanamkan nilai humanisme.

Itu sebabnya saya mencoba memberanikan diri membelanya. Tetapi hanya untuk anak-anak. Bahwa mereka "mungkin" sudah terkontaminasi ideologi ISIS, bisa saja. Itulah tugas negara. Dalam perspektive saya, mereka itu dipulangkan bukan dibebaskan, melainkan melalui proses investigasi pengadilan, bahkan hukuman yang setimpal. Bukan bebas seperti orang pulang ziarah atau wisata ke luar negeri.

Bagi saya, apakah semua yang ada di Suriah itu betul telah melanggar 9 kesalahan (jika memang itu masalahnya), seperti dituduhkan? Apakah semuanya sudah membakar pasportnya? Ini misal saja.

Bukankah yang sudah pulang bercerita bahwa mereka ke sana cuma ingin hidup enak di negara muslim, yang damai dan semua kebutuhan dijamin negara. Lagian, tak semua dari mereka itu ikut berperang. Saya kira hal ini yang tak pernah (mau) dikaji banyak rekan dan orang-orang yang serta merta langsung menolak semua yang ada di camp Suriah itu kembali ke tanah air.

Perihal ada pejuang ISIS kurang ajar dan tak berperikemanusiaan, memang ya. Mereka tak beradab. Tak punya sopan santun. Isunya suka memperkosa. Suka cewek, dan sejumlah isu buruk lainnya, dan penipu. Publikasi saat mengundang umat Islam dari seluruh dunia melalui internet, untuk memberikan kehidupan yang nyaman, damai dan sejahtera, itu jauh dari bumi dengan langit. Selain itu, merusak mereka tatanan, kebudayaan, kedamaian, dan lain sebagainya. Terlalu banyak kesalahan orang-orang ISIS itu.

Karenanya, pastilah mereka itu salah. Lantas, haruskah kita ramai-ramai menolaknya jika memang mereka itu ada yang ingin balik ke tanah airnya ? Baik ideologi negara maupun ajaran agama, Islam khususnya, tak serta merta menolaknya. Terlalu banyak shirah nabawiyah yang bisa kita jadikan landasan.

Lagian, jika mereka pulang pun masih harus menjalani proses. Mereka bisa ditahan, bisa dibina, atau bisa juga dihukum mati atas dasar pelanggaran nilai kemanusiaan selama ini. Tinggal bagaimana negara saja konsisten. Misalnya jika ada orang yang sudah divonis mati, ya diekskusi. Jangan ditunda-tunda. 

Presiden Jokowi saya kira harus tegas juga. Pihak-pihak terkait, atau lembaga-lembaga yang berwenang cobalah didorong bersikap tegas. Jangan ragu-ragu. Belum seumur jagung penggagas sejumlah kerajaan di republik ini langsung ditangkap.

Sementara tokoh-tokoh HTI yang bertahun-tahun memprovokasi rakyat untuk melawan negara, hingga HTI dibubarkan, tetap saja mereka melenggang kangkung, sambil berdakwah tentang kekhilafahan.

Pasca pembubaran HTI, kini marak kemunculan Majelis Taklim, yang dikelola oleh para mantan pentolan HTI itu. Mereka bahkan ada ASN, Dosen PTS dan PTS. Isinya, apa lagi. Jika bukan soal pendirian khilafah ala Taqi'udin an-Nabhani.

Di sinilah sesungguhnya masalah kita. Jika 600 kombatan ISIS itu tak dipulangkan, apa ada jaminan mereka tak menyerang negeri ini, entah terbuka atau tertutup. Tuh mereka faham betul seluk beluk keluar masuk ke negeri ini. Ayo kita berpikir lebih luas.       

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun