Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Saudagar Tiongkok Dibayangi Saudagar Indonesia

13 Oktober 2019   15:28 Diperbarui: 13 Oktober 2019   16:02 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yang Huiyan, perempuan satu2nya yang tajir sebagai orang terkaya di Tiongkok. Usaha proferty, mulai sejak usia 26 tahun (foto : moneysmart.co.id)

Tiongkok atau China terus jadi sorotan dunia. Istilah China sudah menjadi entitas yang khas. Bagi AS, setidaknya kelompok Presiden Donald Trump dan pendukungnya, China dianggap "musuh" dalam berbisnis. Maka itu, perang dagang keduanya terus berkecamuk. Saling "serang", saling "balas", dan saling melakukan perlawanan.

Cerita terpisah di negeri ini, setidaknya oleh kelompok gurun nusantara dan pendukungnya, China (seperti) "monster' menakutkan. Mereka harus dimusuhi, diusir, minimal di"bully". Agar muncul citra, image, atau branding negative, entitas bernama China itu seperti makhluk jahat, tak layak dijadikan kawan. Mereka juga tak patut diberi tempat, menjalani kehidupan dunia ini.

Munculnya penyebutan berbeda untuk istilah Tiongkok dan China ini memiliki history yang panjang. Menurut Santo Darmosumarto, Kompasiana (24 Februari 2012), sejarahnya bermula dari kesalahan menterjemahkan kata "Zhong Hua Ren Min Gong He Guo" kedalam bahasa Inggris menjadi "People's Republic of China". Padahal secara linguistik, istilah "Tiongkok" dan "Tionghoa" lahir dari pelafalan "Zhong Guo", yang artinya "Negara Tengah". 

Hingga awal abad ke-19, sebutan "Tionghoa" terus berlanjut. Tetapi awal abad ke-20, tepatnya 1910, Kolonial Belanda mengeluarkan UU Kewarganegaraan yang menyebut masyarakat Tionghoa dengan China. 

Setelah Indonesia merdeka 1945, pasca meletus Gerakan 30 S / PKI, muncul gerakan anti China. Sejak itu berkumandanglah istilah ini. Sebutannya menjadi prejudice, berdimensi streotive negative. Rezim baru pasca Orde Lama juga simbiosis. Lengkaplah sudah penderitaan orang China.

Beruntung Orde Baru tumbang Mei 1998. Gus Dur terpilih jadi Presiden tahun 1999. Gus Dur mencabut Inpres NO 14 Tahun 1967 yang diskriminatif itu. Selaku Presiden, Gus Dur resmi menyebut "Republik Rakyat Tiongkok".  Entah kenapa, mulai Pilpres 2014 istilah China ini kembali mengemuka, hingga sekarang, dengan steriotive yang sangat negative.

Saudagar Tiongkok Kepung Saudagar AS

Jika ditelusuri, agak sulit mendapatkan asal-usul istilah China bagi orang Tiongkok. Istilah ini hanya ada dalam kamus kolonial Belanda dan dunia Barat lainnya, setelah mereka gagal menerjemahkan "Zhong Hua Ren Min Gong He Guo" ke dalam bahasa Inggris menjadi "People's Republic of China". 

Kata Tionghoa menjadi istilah yang tepat. Dalam bahasa Mandarin, Zhonghua minzu (Hanzi) berarti "Bangsa Tionghoa". Mereka merupakan suatu bangsa, yang berasal dari negeri Tiongkok (dalam dialek Hokkien). Bagi orang Barat, termasuk Belanda, mereka lebih suka menyebut China. Apalagi ada sebagian dari warga Tionghoa yang tinggal di Hindia Belanda , karena persoalan politik, ingin bebas dari dinasti kekaisaran yang ada di daratan Tiongkok.

Munculnya konflik perdagangan antara Tiongkok dengan AS, tentu akan berdampak menguatnya stigma negativ pada China. Juga dinusantara, menguatnya politik partisan 2014, besar pengaruhnya terhadap polarisasi etnik. Warga Tionghoa secara umum jadi sasaran. 

Menariknya, etnik Tionghoa dinegerinya terus berprestasi, ditengah kecaman lantang Donald Trump. Majalah Forbes (Warta Ekonomi 24/05/2019), merelease 10 saudagar kaya Tiongkok. 1. Ma Huating, kekayaan Rp 560 trilyun atau US$38.8 miliar. 2. Jack Ma, Rp 538 trilyun atau US$37.2 miliar. 3. Hui Ka Yan, Rp 522 trilyun atau US$36.2 miliar. 4. Wang Jianlin, Rp 326 trilyun atau US$22.6 miliar. 5. Yang Huiyan, Rp 319 trilyun atau US$22.1 miliar.  6. He Xiangjian, Rp 286 trilyun atau US$19.8 miliar. 7. Zhang Yiming, Rp 234 trilyun atau US$16.2 miliar. 8. William Ding, Rp 212 trilyun atau US$14.7 miliar. 9. Li Shufu, Rp 196 trilyun atau US$13.6 miliar. 10. Colin Huang, Rp 195 trilyun, setara US$13.5 miliar.

Kekayaan saudagar Tiongkok itu didapat melalui beragam industri kreatif. Seperti Ma Huating, pendiri Tencent Holdings, pemilik perusahaan internet terbesar di dunia. Begitu juga Jack Ma, pendiri Ali Baba. Usahanya bukan didapat dari eksploitasi SDA, melainkan dari hasil industri kreative.

Yang Huiyan, perempuan satu2nya yang tajir sebagai orang terkaya di Tiongkok. Usaha proferty, mulai sejak usia 26 tahun (foto : moneysmart.co.id)
Yang Huiyan, perempuan satu2nya yang tajir sebagai orang terkaya di Tiongkok. Usaha proferty, mulai sejak usia 26 tahun (foto : moneysmart.co.id)

Sebagai negara berkembang yang baru tumbuh, kekayaan saudagar Tiongkok ini memang belum sebanding dengan kekayaan saudagar AS. Publikasi Forbes 02 Oktober lalu (Kompas.com, 3/10/2019), dari 400 orang terkaya di AS, Jeff Bezos menempati urutan pertama. Kekayaannya Rp 1.596 trilyun, setara US$114 miliar. Pemilik industri kreatif "Amazon" ini masih diatas koleganya, Bill Gates (Microsoft) diurutan 2 dengan kekayaan US$106 miliar. Warren Buffett diurutan 3 (Berkshire Hathaway) memiliki kekayaan US$80.8 milyar. 

Mark Zuckerberg, pemilik Facebook, diurutan 4. Kekayaannya US$69.8 miliar. Selebihnya berurutan Larry Ellison (Oracle) US$65 miliar. Larry Page (Google) US$55.5 miliar. Sergey Brin (Google) US$53.5 miliar. Michael Blommberg (Bloombe) US$53.4 miliar. Steve Balimer (Microsoft) US$51.7 miliar, dan Jim Walton (Walmart) US$51.6 miliar.

Nampaknya, ada kemunginan saudagar Tiongkok ini bakal melibas saudagar hebat negeri Paman Sam. Saat saya mengunjungi Tiongkok Mei - Juni lalu, sejumlah lembaga PT di Tiongkok, baik daratan atau kepulauan, punya ambisi besar untuk terus berkarya dibidang teknologi modern, dan murah serta praktis. Inilah yang tak dimiliki AS, dan negara-negara Barat lainnya.

Diintip Saudagar Nusantara

Fenomena lain yang menarik munculnya 2 saudagar Indonesia yang menduduki peringkat teratas dalam daftar saudagar asing terkaya di Tiongkok versi Luxux-Hurun Tiongkok 2019. Info ini dimuat beritasatu 12 Oktober 2019 (bersumber LKBN Antara). Mereka Tedy Djuhar dan Elijah Widjaya, masing-masing diperingkat 1 dan 2, sebagai saudagar asing terkaya didaratan Tiongkok.

Teddy, pendiri Salim Group, memiliki kekayaan Rp 48 trilyun atau US$3.4 miliar. Ia kini tinggal di Fuzhou, Provinsi Fujian. Sedangkan Elijah tinggal di Shanghai dengan kekayaan US$2.7 miliar. Keduanya mengalahkan 6 orang asing lainnya, yang sama-sama mencari peruntungan dinegeri berpenduduk 1.4 miliar jiwa.

Enam saudagar asing lainnya yang berusaha di Tiongkok : Kieu Hoang dari Vietnam (3), Dan Friss dari Denmark (4), John Oyler dari AS (5), dan Koh Tuck Lye dari Singapora ada di peringkat ke-6. 

Luxux-Hurun menilai, dengan penduduk 1.4 miliar Tiongkok merupakan pasar potensial bagi perusahaan asing. Walau kompetitif, nyatanya saudagar asing ada yang sukses.

Karakteristik warga Tiongkok tentu beda dengan warga negara lain. Selain gemblengan pendiri RRT Mao Ze Dong saat memerintah dengan tangan besi agar kerja keras dan etos yang tinggi, semangat konfusius juga mempengaruhi. Am Wan Seng, seorang pedagang berpendidikan master di Malaysia menyatakan, kebudayaan Tiongkok itu sudah tua, dan pengalaman berbisnis sangat panjang.  

Ini sejalan dengan pengamatan Wang Xiang Jun dalam bukunya Menjadi Kaya ala China Modern (2010). Katanya ada 10 teknik utama kelompok bermata sipit ini jika berusaha, yaitu : xiang ren (kepercayaan), kuasai produk dari hulu ke hilir, memancing harimau turun gunung, berani rugi untuk mematikan lawan, selalu berinovasi dan belajar, menghindari bank, modal kembali menjadi modal, shi jian (time is money), belajar dagang sejak mata bisa melihat, serta strategi realistik dan fleksibel.

Wang Xiang Jun menambahkan, bagi saudagar Tiongkok, uang digunakan untuk menghasilkan uang. Kebanyakan yang sukses karena bekerja sedikitnya 18 jam sehari. Kerja keras dan selalu win-win. Pelanggan dibikin senang dan bahagia. Memberikan kesempatan tawar menawar. Memelihara kode etik, untuk menghargai pihak lain. Keuntungan bukan dibelanjakan, melainkan untuk tambahan modal kerja. Lapang dada jika masalah, dan berusaha fokus mencari jalan keluar.

Perkembangan ini menarik peneliti Australian National University (ANU), Peter McCawley. Bukunya berjudul "New Technologies, Institutions and Welfare" (1979), Peter meneliti kehidupan pedesaan di Indonesia dan Tiongkok. Salah satu kesimpulannya, pedesaan Tiongkok berkembang pesat. Kesejahteraan berhasil dicapai, dan dengan begitu, besarnya kontribusi pedesaan terhadap kemajuan negara.   

Inilah antara lain fenomena umum budaya Tionghoa dalam berbisnis, termasuk mengurus negara. Karenanya tak heran jika belakangan banyak negara diberbagai belahan dunia kini memilih bermitra dengan RRT, ketimbang dengan AS. Sejak Gus Dur, rintisan kerjasama dengan Tiongkok sudah dibuka. Puncaknya sekarang, walau karenanya Presiden RI kerap dibully. 

Rezim Saudi pun tak mau ketinggalan.  Dipimpin Raja Salman bin Abudul Aziz Al Saud April 2017 lalu, satu delegasi besar tiba berkunjung. Saat itu investasi yang ditanam mencapai US$ 65 miliar, jauh lebih besar ketimbang investasi yang ditanam di Indonesia yang hanya sebesar US$ 6 miliar.

Arab punya kepentingan dengan Tiongkok. Selain pasar yang luas, juga energi. Perekonomian RRT yang terus membaik, dipandang Arab sebagai hal yang urgent. Kemudahan berbisnis dan infrastruktur, membuat Arab lebih tertarik menanamkan investasinya ke RRT.  

Itu sebabnya menjadi relevan jika Jokowi sejak 5 tahun lalu memulai membangun infrastruktur, yang merata ke semua wilayah. Tentu pada periode kedua nanti, kita tunggu usaha Jokowi untuk nyata membangun negeri ini. 

Harusnya, mulai 2020 besok tak ada alasan lagi ngurus perijinan lambat, berbelit-belit. Bukan hanya buat dunia usaha, juga untuk rakyat banyak. Misal buat KTP, KK, Akte Lahir, Perijinan, SK ASN, Pensiunan, dsb. Harusnya bukan diperpanjang, malah harus dipangkas. 

Ini semua harus, 2020 esok kelar. Agar semakin muncul berkembang saudagar kaya dari nusantara ini, dan bisa mengalahkan atau minimal bisa membayangi saudagar dunia lainnya, termasuk saudagar kaya dari Tiongkok yang sama-sama berstatus sebagai negara berkembang.  

Hal lain yang harus didorong, industri yang dibangun hendaknya yang ramah lingkungan. Bukan perusak alam seperti tambang batubara dan perkebunan sawit. AS dan Tiongkok sudah membuktikannya. Usaha mereka seputar industri kreatif, seperti internet, proverty, perbankan, jasa, dsb. Nyatanya para perusak lingkungan di negeri ini tak terlalu besar manfaatnya buat rakyat banyak, kecuali hanya merusak alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun