Kejadian buruk menimpa Menko Polhukam Wiranto Kamis, 10 Oktober 2019. Ia ditusuk dengan sebilah pisau oleh sepasang sami isteri beserta seorang anak yang tak dikenal. Bersama Wiranto, juga terluka ajudannya, serta Kapolsek Menes Kompol Daryanto.
Kejadians itu berlangsung cepat, saat Wiranto dalam kapasitas`sebagai Menko Polhukam berkunjung ke Pandeglang, Banten. Ternyata, saat berada di Alun-alun Menes, Kecamatan Menes, Pendaglang, Wiranto ditusuk seseorang yang tak dikenal, Â mengenai perutnya. Â
Kini kedua pelaku sudah ditangkap. Dugaan sementara pelakunya anggota JAD - ISIS Banten. Ini sekaligus menandakan jika gerakan fundamentalisme agama di negeri ini belum mampu dibasmi.Â
Ada kemungkinan, mereka ini bisa disinyalir semakin menguat, dan semakin nekad. Tentu tak pernah terbayang di benak kita, atas dasar perjalanan berbangsa dan bernegara selama ini, seorang pejabat negara bisa ditusuk hanya menggunakan pisau.
Respon publik atas kejadian ini, umumnya beragam. Sekaligus prihatin. detiknews memberitakan, Presiden Jokowi menjengok langsung Wiranto di RSPAD, dan usul agar pelakunya ditindak tegas, dan tuntas.Â
Ia juga tak lupa memohon doa restu seluruh masyarakat, untuk kesembuhan Menko Polhukam tersebut. Menurut Jokowi, pelaku penusuk Wiranto itu teroris.
Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan rasa sedihnya, sekaligus prihatin atas kejadian ini. Sementara Ketua MPR RI Bambang Soesetyo berharap agar aparat kepolisian mampu membongkar jaringan teroris ini, hingga ke akar-akarnya.
Masih menurut detiknews, DPP Gerindra, melalui salah satu ketuanya, Habiburokhman, menyatakan rasa keprihatinan atas kejadian ini. Dia bahkan mempertanyakan sistem pengamanan yang diterapkan saat ada kunjungan pejabat negara ke lapangan.Â
Menjawab tudingan publik, Kapolda Banten Irjen Tomsi Tahir menyatakan bahwa pihak kepolisian telah menjalankan tugas sesuai SOP yang ada.Â
Gerakan Periodik
Temuan pihak kepolisian menyebutkan jika pelaku anggota JAD Bekasi. JAD singkatan dari Jamaah Ansharut Daulah, sebuah kelompok militan di Indonesia yang memiliki kaitan dengan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) atau ISIS.Â
Pendiri JAD adalah Aman Abdurrahman, alias Oman Rochman, alias Abu Sulaiman. Semula ia seorang pendakwah dari kalangan Islam militan. Ia juga pernah bergabung dengan kelompok JAT (Jemaah Ansharut Tauhid), namun keluar karena merasa terlalu lamban dalam bersikap.Â
Pria kelahiran Sumedang 05 Januari 1972 ini pernah mengenyam pendidikan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab. Pada bulan Juli 2018 lalu ia telah divonis mati.Â
Meski begitu ia tak begitu peduli, ia bahkan minta ekskusi secepatnya. Aman Abdurrahman terlibat banyak kekacauan. Ia kerapkali mengkafirkan aparat keamanan.
Bagi pengamat fundamentalisme agama, ini bukan kasus baru. Kejadian ini sudah yang ke sekian kalinya. Gerakannya pun bermacam-macam, mulai dari pengeboman terhadap lembaga publik, seperti restaurant dan perhotelan, hingga lembaga keagamaan seperti gereja dan mesjid. Tak hanya itu, penyerangan terhadap kantor kepolisian pun sudah berulangkali dilakukan, misalnya menyerang pos-pos polisi di perempatan jalan.
Tentu muncul rasa kesedihan di kalangan pengamat, khususnya yang care atas kejadian ini. Kenapa masalah ini tak selesai-selesai ? Apakah ini indikasi kegagalan negara dalam mengatasi marak dan berkembangnya kaum fundamentalisme agama ? Atau trend dunia global yang memang sama-sama menghadapi kasus serupa, di bagian manapun sedang berada.
Barangkali, narasi terakhir inilah yang paling benar. Di negara-negara maju seperti di Eropa pun setali tiga uang. Untuk kawasan Eropa, Prancis merupakan negara paling sering diserang kaum fundamentalis ini. Apalagi untuk kawasan Timur Tengah, kasusnya seperti rutin.Â
Untuk wilayah Indonesia, sepertinya dilakukan secara periodik. Misalnya pasca Bom Bali I bulan Oktober 2002. Kejadian ini menewaskan 202 orang. Kemudian, di bulan yang sama tahun 2005 terjadi lagi Bom Bali II, menewaskan 23 orang dan 196 orang luka-luka.
Sementara di Jakarta kasusnya mirip, berperiodik. Tahun 2000 bom meledak di kediaman Dubes Filipina. September 2000 bom meledak di Bursa Efek Jakarta. Agustus 2001 bom meledak di Plaza Atrium. Agustus 2003 bom meledak di hotel JW Marriot, kawasan mega Kuningan. September 2004 bom mobil meledak di depan Kedubes Australia, kawasan Kuningan. Tahun 2009 bom meledak di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, lagi-lagi di kawasan mega Kuningan. Tahun 2016 bom meledak di Plaza Sarinah. Tahun 2017 di Kampung Melayu.Â
Jakarta termasuk kawasan yang selalu diincar para teroris. Maka itu kejadiannya menjadi berkali-kali. Sementara Surabaya, kota terbesar di pulau Jawa wilayah Timur, juga tak luput dari incaran terotis. Uniknya, sejak di Surabaya inilah kelompok fundamentalisme agama ini melibatkan anak dan perempuan, jika mereka sedang menjalankan aksinya.
Kajian StrategisÂ
Memperhatikan kejadian yang menimpa Wiranto ini, saatnya ada kajian mendalam untuk memahami maraknya kaum fundamentalis agama ini beraksi. Karena jika lengah, tak mustahil pimpinan tertinggi di negeri ini, entah Presiden atau Wakil Presiden bisa saja jadi korban. Apalagi mereka berasal dari sipil murni, yang terbiasa bergaul dengan publik. Jokowi misalnya, sebagai pengusaha mebel, biasa saja bergaul dengan siapa pun. Maka itu beliau selalu tampil bersama rakyat, tanpa pengawalan yang ketat.
Wapres terpilih yang baru, Kyai makruf Amin, berlatar belakang seorang kyai sudah pasti sangat familiar dengan umat. Apalagi ajaran yang kerap beliau kumandangkan untuk selalu karib dengan umat, dan tak boleh mengambil jarak sepeser pun meski sedang mengemban amanah kebangsaan.
Ini dilematis memang. Satu sisi ada keinginan dari para pejabat untuk selalu dekat dengan rakyatnya. Namun di sisi lain ada resiko kaum fundamentalis menyerbu dengan berpura-pura sebagai rakyat awam. Solusinya bukan lantas menjauh dari ummat, melainkan ada langkah praktis bagaimana kaum fundamentalis itu berhasil dieliminasi.
Langkah sementara dengan memperketat pengawalan bagi para pejabat itu sebuah pilihan. Namun langkah ideal dengan melakukan advokasi dan pembinaan bagi semua warga negara itu sebuah kewajiban bagi pemerintah. Misalnya jika selama nilai-nilai agama hanya ditanamkan dengan pendekatan fungsional dan substansial, seperti diajarkan para sosiologi agama, itu sudah tak cukup.Â
Tawaran pengikut Islam Ahlussunnah wal-jamaah diseluruh dunia, termasuk NU di Indonesia untuk melakukan kajian keagamaan dengan berporos pada kajian teologis Asy'ariyah dan Maturidiyah, itu sebuah pilihan. Faham inilah yang selalu mengumandangkam jalan tengah, tawasuth atau moderat, yang mustahil akan radikal ke kiri atau ke kanan. Jika seseorang memilih menekuni teologi keagamaan di luar mazhab Asy'ari dan Maturidy, ada kecenderungan akan terjerambab ke lembah faham keagamaan yang suka menyalahkan orang lain.
Demikian pula dengan studi fiqh, hukum Islam. Selama masih dalam koridor kajian mazahibul arba'ah, Insya Allah pemeluknya akan sangat tolerir pada pihak lain. Apalagi jika sampai mau menekuni kajian tasawuf Al Ghazali dan Al Bagdadi, dapat dipastikan orang itu akan ramah dan menghargai pihak lain, sekali pun orang lain itu musuh bebuyutan.Â
Mudah-mudahan negeri ini selalu aman dan sentosa. Makmur rakyatnya. Hidup berdampingan, saling menghargai, berkeadilan, dan (ini kata warga Muhammadiyah) "berkemajuan". Dengan begitu kaum fundamentalis agama bisa dibasmi, tak bisa subur, bahkan bisa mati sama sekali. AamiinÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H