Mahasiswa yang ingin melakukan perubahan, dengan cara berdemonstrasi atau unjuk rasa besar-besaran sejak penghujung akhir September lalu, hingga pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo dan Kyai Makruf Amin, 20 Oktober mendatang, jelas sebuah sikap yang salah kaprah. Salah pilihan, serta salah sasaran.
SpiritDemo, atau unjuk rasa, memang sebuah alternatif. Ketika channel lain sudah mempet, tidak tersalurkan. Tuntutan mereka untuk menolak RUU KUHP, atau RUU KPK (yang sudah disetujui DPR RI), serta beberapa RUU lainnya, secara nyata sudah dipenuhi negara, dalam hal ini langsung oleh Presiden RI, Joko Widodo.Â
Beberapa dari RUU itu sudah ditunda pembahasannya, seperti RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU PAS, RUU Minerba dan RUU Pertanahan. Tak hanya itu, UU KPK yang sudah disetujui pun kemungkinan direvisi, entah dalam bentuk apa.Â
Artinya, tuntutan mereka sudah diakomodasi. Tinggal mengawalnya. Dengan demikian, tak ada lagi tuntutan yang signifikan yang harus ditolak melalui unjuk rasa. Kecuali para mahasiswa itu sejalan dengan para pendompleng demo, yang tuntutannya (seperti terlihat dari spanduk yang mereka bentangkan, dan sebagian dari orasi yang mereka lontarkan) berbunyi : saatnya ganti sistem, saatnya ganti rezim. Dari istilah yang mereka gunakan, kita bisa faham dan siapa saja kelompok ini.
Ini tentu sudah jauh melenceng dari niat demonstrasi mahasiswa, yang kompak berhasil menggalang dan menggelindingkan gerakan di semua daerah. Masalah yang mereka perjuangkan juga memang berat dan relevan, khususnya yang  terkait dengan RUU KUHP dan (sebagian kecil) UU KPK, serta sejumlah RUU lainnya.Â
Menjalan Fungsi Mahasiswa
Sebagai aktivis mahasiswa "tempoe doeloe", saya welcome terhadap aktivitas sosial mahasiswa hari ini. Generasi kami saat jadi mahasiswa, berada dalam situasi yang sangat represif.Â
Kala itu, tak sedikit mahasiswa ditangkap tanpa proses hukum. Sewaktu-waktu, seorang mahasiswa bisa saja dijemput dikostnya di malam hari, hanya karena di siang hari ia termonitor mengecam presiden dalam seminar.Â
Tak hanya mahasiswa, para guru agama atau juru dakwah mengalami hal yang sama. Termasuk dosen. Jika ada ceramahnya yang berani mengkritik kebijakan negara, khususnya Presiden RI Jenderal Soeharto (kala itu), siap-siap akan dibawa ke balik jeruji besi.
Itu dulu, di era Orde Baru. Pada zaman itu, otoritarianisme merajalela. Ada wartawan yang tinggal mayatnya karena membongkar kasus aparat. Pers bisa dicabut SIUP-nya karena tak sejalan beritanya dengan kehendak negara.Â
Padahal mahasiswa banyak punya fungsi, antara lain sebagai agent of social change, agent of modernization, serta control social. Fungsi yang melekat dengan dunia kampus yang menjadi identitasnya itu, sejalan dengan garis yang dianut negara.