Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Kopi "Ndeso" Menjadi Sang Pemersatu

6 Oktober 2019   21:46 Diperbarui: 8 Oktober 2019   11:21 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warung Rakyat di Gambut Baharat, Kopi Hitam, Kopi Susu, dan Wadai Banua Khas Banjar (foto : SH)

Ngopi ala ndeso di pedalaman Kalimantan

Pada tahun 1970-an, saat menjalani studi jenjang dasar dan menengah (SD dan SLTP), saya kerap diajak orang tua dan keluarga besar saya untuk bersilaturahim secara rutin. Tradisi ini tak hanya disaat idul fitri, melainkan bisa tiap minggu, tiap bulan, minimal pertiga bulan, dan paling lama perenam bulan. 

Tradisi itu terus terjaga dengan baik, walau dengan fasilitas angkutan yang minim. Kadang jalan kaki, sepeda ontel, jukung atau perahu kecil. Jika jaraknya jauh, kala itu ada Mobil Power atau Jeep Wilis (angkutan darat sisa zaman perang), atau kadang naik kapal. 

Tradisi ini tidak saja untuk keluarga dekat dan jauh, melainkan juga pada kenalan, tetangga dan handai tulan lainnya. Dengan model itu, tak aneh jika sebuah keluarga besar sangat terpelihara. Satu sama lain saling kenal, karib, baik antar keluarga, atau tetangganya. 

Meski begitu, ada juga konflik keluarga. Kadang masalahnya tak begitu signifikan. Misal, hanya rebutan siapa yang paling berhak mengambil buah milik nenek moyang, seperti Kelapa (muda dan tua), Langsat, Kasturi, Asam Palipisan, Rambutan, Kuwini, Ramania, Manggis, Limau Kuit, atau cuma buah Rambai, makanan Bakantan yang rasanya kecut minta ampun itu.

Selain itu, ada juga konflik besar antar keluarga. Umumnya ini terkait rebutan harta waris. Kasus ini kadang bisa membawa korban, mereka bisa bunuh-bunuhan. 

Anehnya, jika ada seseorang hanya sekadar memakai lahan melewati batas untuk usaha atau tempat tinggal, dianggap biasa saja. Tak ada keributan. Mungkin pada era itu, arealnya masih luas. Lahan masih kosong. Penduduk masih sedikit. 

Dalam keluarga besar saya pernah terjadi konflik karena masalah politik. Ayah saya yang kini sepuh berusia 89 tahun, pernah berkonflik dengan adik kakek saya, seorang pensiunan TNI. 

Saat Pemilu 1977, ayah saya yang aktiv di NU, pendukung setia PPP. Sebagai purnawirawan, adik kakek saya tentu saja Golkar cekik. Konsekwensinya, ayah saya harus minggat meninggalkan kampung halaman, hijrah ke kota.

Tetapi secara umum, keseharian kampung relative damai antar warga. Walau cuma pakai lampu teplok, jika ada event besar, warga biasanya menggunakan lampu setrongking. 

Alat penerang ini rasa istimewa, menggunakan minyak tanah. Cahayanya pun lumayan kuat dan mampu menembus sampai area sekitar 50 meter disekelilingnya. 

Walau relasi antar warga relative damai. Masalah yang kerap muncul adalah pencurian. Mereka tak hanya mencuri tanaman, atau barang lainnya, tetapi juga masuk rumah di malam hari. Anehnya, maling-maling pencuri ini muncul secara musiman. Antara lain kadang saat habis musim tanam, atau menjelang panen. Tetapi saat musim paceklik pencurian sangat merajalela. 

Mengatasi kasus ini, diadakanlah ronda malam secara bergiliran. Muda dan tua turun sama-sama. Hanya ibu-ibu yang tak ikut. Sekali waktu teman-teman pernah menyergap maling itu, dan dipukul beramai-ramai. 

Baru setelah pingsan, tapi masih hidup, siangnya diantar ke kantor polisi. Itupun jaraknya pun lumayan jauh, karena adanya di dekat kantor kecamatan, hampir 10 kilometer.

Diproduksi Manual

Baik sedang silaturahim, maupun sedang tugas ronda malam, siapapun orangnya, kaya atau susah, pedagang atau petani, tua atau muda, mereka yang suka guyon atau yang pendiam, laki-laki atau perempuan, semuanya suka minum kopi. 

Kopi disajikanpada tempat yang sederhana, yakni cerek atau cirat (bahasa Banjar). Ada pula yang menyebut iskan. Tempat ini kadang warnanya sudah kehitaman, karena keseringan dipakai buat merebus air. Gelas yang dipakai pun kadang terbuat dari seng, yang jenisnya sama dengan iskan tempat kopi. 

Aroma kopi sangat luar biasa. Kopi produksi penduduk dengan cara memanen sendiri, menjemur sendiri, dan menghaluskan sendiri itu kadang dilakukan saat ibu-ibu itu lagi kongkow-kongkow didepan rumahnya. 

Alat yang digunakan mereka pun cukup spesial, berupa besi berbentuk bejana kecil. Kopi-kopi yang sudah kering kemudian dimasukan ke dalamnya, kemudian ditutuk secara manual, menggunakan alu besi sepesial, hingga halus. 

Jika sudah halus, kopinya disaring menggunakan ayakan, semacam penyaring, sampai  semua kopi sudah sangat halus, siap untuk diminum.

Kopi kemudian ditimbang, dibuat dalam lembaran kertas yang sudah dibuat seperti gulungan. Timbangan kopi biasanya antara satu kilogram, atau separonya (setengah kilo). Kopi kemudian dipajang di halaman rumah untuk dijual, atau dibawa ke pasar.

Dalam tradisi warga pedalaman Kalimantan, pasar hanya berlangsung sekali dalam seminggu. Maka itu terkenal sekali ada Pasar Ahad untuk hari Minggu. Ada Pasar Sanayan buat hari Senin. Pasar Salasa untuk hari Selasa. Pasar Aruba buat hari Rabu. Pasar Kamis untuk hari Kamis. Pasar Jumahat untuk hari Jumat, dan Pasar Sabtu untuk hari Sabtu.

Kopi Manis

Mayoritas masyarakat Banjar jika minum kopi selalu berasa manis, dan panas. Bagi mereka yang pernah mempelajari ilmu kesehatan masyarakat, bisa jadi muncul kengerian jika melihat orang-orang tua di bumi Kalimantan jika sedang minum kopi. 

Bagaimana tidak, karena takaran gula pasirnya kadang sampai seperempat dari gelas yang ada. 

Itu artinya kadar gula yang masuk ke dalam tubuh tinggi sekali. Belum lagi jika mereka makan nasi dengan takaran yang banyak, yang secara guyonan mereka sebut "lindung kucing baduduk" ('maksudnya sepiring nasi bisa melindungi seekor kucing yang tengah duduk). Ini saking banyaknya.

Bukankah kandungan gula pada nasi putih justru lebih tinggi. Jika dibarengkan minum teh atau kopi dengan rasa yang manis pula, karena pakai gula, maka lengkaplah sudah inflasi kadar gula yang masuk ke dalam tubuh. 

Nyatanya orang-orang tua Banjar tempoe doeloe sehat wal-afiat. Tak banyak ditemukan penyakit degeneratif, seperti sekarang. Kenapa? Karena mereka pekerja keras, dimana keringat yang keluar sangat banyak. Artinya, proses pembakaran sangat normal. Energi yang masuk dengan yang keluar seimbang.

Zaman berganti, anak melineal pun ikutan minum kopi, tetapi  di cafe modern. Karena bukan pekerja keras, maka keringat yang keluar sedikit sekali. Mereka bahkan rutin bergadang bisa sampai pagi. Karena itu kelompok ini rawan diserbu penyakit. 

Apalagi ada di antara mereka yang terkontaminasi obat-obatan terlarang. Tentu kesehatannya bisa memburuk, dan usianya pun tak panjang-panjang amat.

Kendati demikian, melalui kopi jalinan persahabatan terpelihara dengan baik.  Kopi telah menjadi pemersatu ummat. Untuk itu, penggemar kopi perlu strategi yang bagus, agar kesehatannya tetap surprise. Misalnya, jumlah kopi yang diminum cukup 3 gelas sehari. Ideal sekali cuma 2 gelas, dan tanpa gula. 

Saya pernah masuk rumah sakit karena ngopi sampai 7 gelas sehari. Saya terpengaruh seorang sahabat sesama penggemar kopi, dosen Fakultas Kedokteran UI. Katanya limit maksimal bisa 7 gelas. Kini saya ngopi paling banyak 2 gelas sehari, dan tanpa gula. Analisis sementara, model ini lebih sehat.

Minum kopi idealnya bukan kopi kemasan siap saji. Minumlah kopi asli produksi rakyat, dan tanpa gula. Jika ini yang dilakukan, maka manfaat ngopi jadi berlipat ganda berkahnya. 

Pertama, selain tetap manfaat buat kesehatan, juga kedua, sekaligus mendapatkan pahala sosial, melalui silaturahim. Semoga ini jadi renungan buat kita semua. Amin!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun