Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perjuangan Mahasiswa Abad 21, Demo atau Karya?

5 Oktober 2019   23:29 Diperbarui: 6 Oktober 2019   05:46 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maraknya demo mahasiswa yang menolak UU KPK, RUU KUHP dan RUU lainnya, yang baru saja dibahas para Wakil Rakyat di DPR RI dipenghujung jabatan mereka masa khidmat 2014 - 2019, ternyata telah dimanfaatkan dengan baik oleh pihak lain, seperti diduga sebelumnya banyak pihak. 

Melalui kolom pendeknya di Kamiskot.com, Khairi Fuady, Pengamat Politik Global yang kini sedang menyelesaikan studi magister di Universitas Paramadina Jakarta melihat, ada banyak pihak yang sudah memanfaatkan ajang tersebut. Antaranya :

Pertama, kelompok liberal yang konon tak sudi kehidupan domestik-nya diganggu, terlalu dicampuri oleh negara. Mereka inilah yang paling masif mobilisasinya. Ini tercermin dari poster-poster yang mereka titip pada mahasiswi-mahasiswi cantik dan unyu-unyu di medan aksi. 

Kedua, kelompok sosialis. Mereka ini gencar melakukan penggalangan pada berbagai isu yang mendelegitimasi peran negara, menggunakan media sosial. Dari pro referendum Papua, sampai agitasi dan propaganda yang mengarah pada upaya untuk membangkitkan romantisme anak bangsa, bahwa rakyat pernah bersatu menumbangkan negara.

Terakhir, ketiga, kelompok kanan fundamentalis ternyata juga satu visi. Kelompok ini tentu saja sudah lama sebel dan kesal, sekaligus selalu merawat dendam. Antaranya, karena faktor dibubarkannya HTI, hingga kuantifikasi hasil pilpres yang tak berpihak pada mereka. Itu sebabnya kelompok ini menjadi pro pada berbagai gejolak yang muncul. Bagi mereka, jika negara sedang genting, mereka otomatis punya panggung untuk beraksi. Isu KPK Taliban juga membuat kelompok ini seperti dimarjinalkan oleh keadaan.

Catatan pendek ini memperkuat dugaan banyak pihak yang menyatakan gerakan mahasiswa yang ramai sejak di penghujung September lalu, hingga awal Oktober ini, yang sudah memakan korban (seperti yang terjadi di Kendari, Sultra), telah dimanfaatkan dengan baik oleh pihak lain -- istilah lain dari ditunggangi. 

Bercermin dari kejadian tersebut, tentu akan muncul banyak pertanyaan menarik untuk dibahas, dan bisa panjang analisisnya. Misalnya, masih patutkah aspirasi seperti penolakan terhadap UU KPK itu disalurkan melalui demo atau unjuk rasa ? Masih relevankan demo atau unjuk itu dilakukan mahasiswa yang hidup di era global, abad k e-21 ini ? 

Sebagai kaum melineal yang menjadi harapan bangsa, kenapa mereka tak menempa diri dan kelompoknya untuk menjadi kelompok yang riel berkarya, yang tidak saja bermanfaat untuk dirinya, melainkan juga untuk agama, nusa dan bangsa. Ini sebagian renungan yang patut dipikirkan matang-matang.

Sejarah Unjuk Rasa

Sejarah demo, atau unjuk rasa sesungguhnya merupakan sejarah yang sangat terpaksa dilakukan. Artinya karena keadaan yang sangat memaksa. Menurut catatan merdeka.com tanggal 30 September lalu, tradisi demonstrasi itu mulai terjadi pada abad ke-13. Kala itu banyak orang di Inggris menjadi budak kekuasaan feodal. Kala itu para bangsawan Inggris (Baron), melancarkan aksi pemberontakan pada Raja John. 

Akibat dari pemberontakan inilah terbentuk Magna Carta. Magna Carta ini merupakan piagam, yang dikeluarkan oleh Inggris. Ada 10 point penting dari isi piagam ini, antaranya : kekuasaan raja harus dibatasi. Dalam piagam ini juga ditekankan, Hak Asasi Manusia (HAM) lebih penting dari kekuasaan, politik, dan hukum.

Lord Denning, seorang Hakim yang berpengaruh di abad ke-20 lalu, merespon substansi dari isi Magna Carta itu dengan baik. "Magna Carta ini adalah pondasi kebebasan individu untuk melawan otoritas yang sewenang-wenang" ucapnya suatu ketika, seperti disiarkan BBC London.

Kejadian di Inggris ternyata melebar ke banyak negara lain. Unjuk rasa itu seperti bola salju. Revolusi Prancis misalnya. Mereka memperjuangkan gerakan, dengan pesan terbuka, berupa kebebasan, persamaan dan persaudaraan (Libert, Galit, dan Fraternit). Prinsip-prinsip tersebut menjadi standar yang ideal untuk seluruh Eropa, hingga melebar ke seluruh dunia.

Ide ini terus melebar. Pertengahan abad ke-20 lalu, muncul tuntutan hak bagi warga Afrika Amerika. Pada tahun 1960-an terjadi perang sipil, di mana kelompok kulit hitam mulai melakukan aksi protes, oleh adanya ketimpangan antara ras kulit putih dengan kulit hitam. Ada diskriminasi pada kelompok kulit hitam dalam berbagai hal, seperti pekerjaan, kawasan tempat tinggal, perlakuan hukum, serta hak untuk memilih. Akibat Perang Sipil ini, Amerika pun akhirnya mulai membebaskan jutaan orang dari kasus perbudakan.

Aksi kelompok kulit hitam yang menuntut penyamaan hak ini, berimbas pula pada masyarakat di Irlandia Utara. Tidak hanya itu, pada tahun 1967, Martin Luther, seorang tokoh pembaharu sosial memimpin aksi demonstrasi untuk menolak Perang Vietnam. Ada sekitar 5 ribu massa membanjiri Jalan Raya Chicago, Amerika, dipimpin Luther. Mereka juga mengecam pemerintah Amerika yang telah mengirimkan 3.500 pasukan perangnya terlibat dalam Perang Vietnam.

Pilihan Tepat

Untuk era masa lalu, demo atau unjuk rasa adalah pilihan tepat. Konon, dalam Sejarah Kerajaan di tanah Jawa, pernah terjadi proses unjuk rasa dari rakyat, dengan cara menjemur diri di depan istana. Setelah berhari-hari, si pendemo itu dipanggil sama sang raja, dan diadakan dialog. Usai dialog, maka si pendemo disuruh pulang, tentu sebelumnya disiapkan makanan yang tersaji dengan enaknya.

Pada era tempoe doeloe itu tuntutan para pengunjuk rasa relative murni, dan sesuai harapannya. Peserta unjuk rasanya pun juga masih murni niatnya. Gerakannya murni swadaya, tanpa sponsor.

Berbeda jauh dengan demo hari ini. Setiap unjuk rasa selalu diintip oleh pihak-pihak lain. Buat apa ? Buat bikin kerusuhan. Mereka inilah yang disebut dengan "perusuh" atau pembuat keonaran. Untuk apa berbuat onar, tiada lain agar eksistensi negara menjadi goyang, bahkan bisa hilang. Negara menjadi tak berwibawa. 

Seperti demo mahasiswa kemarin, tuntutannya bak kor semula adalah penolakan hasil sidang wakil rakyat, seperti pengesahan RUU KPK dan KUHP. Nyatanya isunya jadi bola liar, semakin bergeser, menjadi seperti "selamatkan negeri ini dengan khilafah", "saatnya ganti sistem" dari Pancasila ke Khilafah, dan lain sebagainya.

Lantas, bagaimana para mahasiswa harus menyikapi kejadian tersebut. Untuk waktu sekarang, di awal abad ke-21 ini, terlebih bagi mereka yang masuk kategori melineal, tak ada pilihan lain, hentikan tuntutan model demo itu. Jika ada tuntutan, lakukan dengan cara lain, agar kelompok "penumpang gelap" tak bisa ikut serta.

Seperti dituturkan Khairi Fuady di atas, kelompok-kelompok yang merasa terganggu oleh kebijakan negara hari ini sangat beragam. Mulai dari soal kepentingan "cinta" sampai ke soal "kepala negara", politik. 

Sebagai kaum melineal, yang sejak 2020 besok menjadi faktor diterminant akan nasib bangsa ini, tak ada pilihan lain, selain menyiapkan diri dengan baik. Langkahnya, sekolah baik-baik. Jadilah generasi kreatif, inovatif, dan dedikatif untuk negarap. Hanya model itu yang tepat dilakukan saat ini untuk negeri terbesar ke-4 di dunia ini, karena berdasar data WDR yang dipublish World Bank tahun 2018 lalu, kemajuan SDM negeri ini masih nangkring di angka 111 dari 182 negara. Ini tentu sangat menyedihkan.

Kondisi ini membuat negara kita jauh tertinggal dari negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapora, Brunei, Thailan, dan sebagainya. Untuk mengatasinya, kaum melineal saat ini harus mengasah dirinya, bukan demo solusinya. Jika kaum melineal Indonesia mau meningkatkan SDM nya dengan baik, yang berujung munculnya generasi kreatif dan inovatif, besar sekali manfaat kehadiran mereka untuk meningkatkan perekonomian bangsa. 

Jika itu yang terjadi, maka isu pengangguran, kesulitan lapangan kerja, serta perekonomian yang katanya belum membaik, jelas akan besar maknanya. Maka itu, tawaran negara untuk mengembangkan ekonomi kreatif harus ditindak lanjuti. Agar kelompok-kelompok industri kreatif seperti pendiri Traveloka, Buka Lapak, Gojek dan sebagainya bisa muncul di mana-mana. Bukan demo yang jadi pilihan. Banyak mudharatnya.

Semua itu, tidak ada kata lain, kecuali untuk Indonesia yang lebih baik. So karenanya, saatnya kaum melineal, khususnya para mahasiswa Indonesia, harapan bangsa dan negara, untuk berkarya dan bekerja. Inilah yang harus dilakukan oleh kaum melineal Indonesia, mahasiswa abad 21 ini.      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun