Ide ini terus melebar. Pertengahan abad ke-20 lalu, muncul tuntutan hak bagi warga Afrika Amerika. Pada tahun 1960-an terjadi perang sipil, di mana kelompok kulit hitam mulai melakukan aksi protes, oleh adanya ketimpangan antara ras kulit putih dengan kulit hitam. Ada diskriminasi pada kelompok kulit hitam dalam berbagai hal, seperti pekerjaan, kawasan tempat tinggal, perlakuan hukum, serta hak untuk memilih. Akibat Perang Sipil ini, Amerika pun akhirnya mulai membebaskan jutaan orang dari kasus perbudakan.
Aksi kelompok kulit hitam yang menuntut penyamaan hak ini, berimbas pula pada masyarakat di Irlandia Utara. Tidak hanya itu, pada tahun 1967, Martin Luther, seorang tokoh pembaharu sosial memimpin aksi demonstrasi untuk menolak Perang Vietnam. Ada sekitar 5 ribu massa membanjiri Jalan Raya Chicago, Amerika, dipimpin Luther. Mereka juga mengecam pemerintah Amerika yang telah mengirimkan 3.500 pasukan perangnya terlibat dalam Perang Vietnam.
Pilihan Tepat
Untuk era masa lalu, demo atau unjuk rasa adalah pilihan tepat. Konon, dalam Sejarah Kerajaan di tanah Jawa, pernah terjadi proses unjuk rasa dari rakyat, dengan cara menjemur diri di depan istana. Setelah berhari-hari, si pendemo itu dipanggil sama sang raja, dan diadakan dialog. Usai dialog, maka si pendemo disuruh pulang, tentu sebelumnya disiapkan makanan yang tersaji dengan enaknya.
Pada era tempoe doeloe itu tuntutan para pengunjuk rasa relative murni, dan sesuai harapannya. Peserta unjuk rasanya pun juga masih murni niatnya. Gerakannya murni swadaya, tanpa sponsor.
Berbeda jauh dengan demo hari ini. Setiap unjuk rasa selalu diintip oleh pihak-pihak lain. Buat apa ? Buat bikin kerusuhan. Mereka inilah yang disebut dengan "perusuh" atau pembuat keonaran. Untuk apa berbuat onar, tiada lain agar eksistensi negara menjadi goyang, bahkan bisa hilang. Negara menjadi tak berwibawa.Â
Seperti demo mahasiswa kemarin, tuntutannya bak kor semula adalah penolakan hasil sidang wakil rakyat, seperti pengesahan RUU KPK dan KUHP. Nyatanya isunya jadi bola liar, semakin bergeser, menjadi seperti "selamatkan negeri ini dengan khilafah", "saatnya ganti sistem" dari Pancasila ke Khilafah, dan lain sebagainya.
Lantas, bagaimana para mahasiswa harus menyikapi kejadian tersebut. Untuk waktu sekarang, di awal abad ke-21 ini, terlebih bagi mereka yang masuk kategori melineal, tak ada pilihan lain, hentikan tuntutan model demo itu. Jika ada tuntutan, lakukan dengan cara lain, agar kelompok "penumpang gelap" tak bisa ikut serta.
Seperti dituturkan Khairi Fuady di atas, kelompok-kelompok yang merasa terganggu oleh kebijakan negara hari ini sangat beragam. Mulai dari soal kepentingan "cinta" sampai ke soal "kepala negara", politik.Â
Sebagai kaum melineal, yang sejak 2020 besok menjadi faktor diterminant akan nasib bangsa ini, tak ada pilihan lain, selain menyiapkan diri dengan baik. Langkahnya, sekolah baik-baik. Jadilah generasi kreatif, inovatif, dan dedikatif untuk negarap. Hanya model itu yang tepat dilakukan saat ini untuk negeri terbesar ke-4 di dunia ini, karena berdasar data WDR yang dipublish World Bank tahun 2018 lalu, kemajuan SDM negeri ini masih nangkring di angka 111 dari 182 negara. Ini tentu sangat menyedihkan.
Kondisi ini membuat negara kita jauh tertinggal dari negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapora, Brunei, Thailan, dan sebagainya. Untuk mengatasinya, kaum melineal saat ini harus mengasah dirinya, bukan demo solusinya. Jika kaum melineal Indonesia mau meningkatkan SDM nya dengan baik, yang berujung munculnya generasi kreatif dan inovatif, besar sekali manfaat kehadiran mereka untuk meningkatkan perekonomian bangsa.Â