Sidang MK yang menolak gugatan Prabowo Sandi, harusnya bisa mengakhiri drama politik di negeri ini. Setelah bertahun-tahun polarisasi masyarakat berlangsung, dengan segala fluktuasinya, telah menimbulkan rasa ngeri, bahkan ketakutan di sebagian warga, negeri berpenduduk 270 juta jiwa ini.Â
Tindak lanjut dari keputusan tersebut, KPU sebagai lembaga negara berwenang, serta merta menindaklanjuti keputusan tersebut. Sesuai wewenangnya, lembaga negara yang belakangan kerap dituduh berbuat curang tersebut kemudian menetapkan pihak tergugat, pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai pasangan terpilih dalam Pilpres 2019. In Sya Allah, jika tak ada aral melintang, bulan Oktober 2019 mendatang, pasangan ini akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, periode 2019 - 2024.
Tentu banyak agenda besar yang akan dilakukan pasangan ini 5 tahun ke depan. Bagi Jokowi, ini adalah periode kedua memimpin negeri ini, setelah sebelumnya sejak 2014 memimpin negeri ini berpasangan dengan pengusaha nasional asal Indonesia Timur, HM. Jusuf Kalla.Â
Sesuai visinya, negeri ini punya sumber daya alam berlimpah. Sayang, keterbatasan infrastruktur, maka potensi ekonomi berasal dari kawasan yang memanjang dari Sabang hingga Merauke itu belum mampu berkontribusi positif bagi pembangunan. Dalam pengamatan mantan Walikota Solo ini, dengan infrastruktur yang tersedia akan memberikan banyak keuntungan, bagi negara dan rakyatnya. Sebutlah jalan tol yang menghubungkan ujung barat pulau Jawa, hingga ujung timur. Tol membuat perjalanan semakin cepat, waktu tak banyak terbuang, biaya perjalanan pun jauh lebih hemat. Begitu pula dengan pembangunan bandara dan pelabuhan dari kawasan paling barat, hingga kawasan paling timur, memungkinkan mudahnya transportasi. Tol laut membuat harga barang tak terlalu jauh selisihnya. Sebut saja harga premium atau semen.
Dulu untuk wilayah Papua harganya jauh di atas harga normal. Kini setelah difasilitasi, harga bensin antara Jawa dan Papua sudah sama. Ini hanya salah satu contoh dampak infrastruktur. Bahwa kehadiran infrastruktur seperti bandara atau pelabuhan (yang memakan biaya tak sedikit) belum optimal seperti dirancang, itu soal waktu dan manajemen. Tuh pembangunan itu bukan seperti Lampu Aladin, kun fayakun ... jadilah iya ... !!!
Pengalaman Amerika
Langkah Jokowi, mengingatkan keadaan di AS awal abad ke-20, saat negeri Paman Sam itu dipimpin oleh Presiden Herbet Hoover. Kala itu ekonomi AS ambruk berat, ketika Depresi Besar (The Great Depression) melanda negeri adi daya itu. Hoover kala itu yakin perekonomian AS cepat pulih. Dia yakin ekonomi pasar bebas yang dianut AS, yang kemudian ditopang oleh policy negara berupa laissez-faire, akan membuat perekonomian negeri berbalik arah. Hoover yakin kebijakan ekonomi pasar bebas mampu mengoreksi diri, serta mampu mendapatkan keseimbangan.
Hasilnya, ekonomi AS justru semakin terpuruk. Pengangguran mencapai 25 %. Sejumlah bank pun bangkrut. Bersamaan dengan itu muncul bencana alam. Kekeringan melanda AS. Badai debu (dust bowl) menggoncang pertanian di Midwist, salah satu kawasan lumbung pertanian di AS. Ditambah menurunnya harga komoditas pertanian, semakin memperparah deflasi ekstrem ekonomi Amerika Serikat.
Di tengah kebangkrutan ekonomi seperti itu, muncul Franklin Delano Roosevelt. Presiden ke-32 AS itu, yang memerintah dari tahun 1933 hingga 1945 (satu-satunya Presiden AS yang bisa 4 periode memerintah), memiliki ide segar dan briliant, untuk mengatasi carut marut perekonomian AS. Roosevelt mencanangkan padat karya, membangun proyek jalan, membangun irigasi, dan membangun bendungan. Tak hanya itu, ia juga menyiapkan dana darurat untuk pekerjaan di bidang pertanian, membangun konstruksi, pembangkit listrik, sistem kereta api, permukiman dan pendidikan.
Inilah antara lain yang mempengaruhi Jokowi, setelah yang bersangkutan sukses membangun Kota Solo, dan memulai menata kota Jakarta. Sebagai Gubernur Jakarta, Jokowi faham kebutuhan Rakyat Indonesia. Kebetulan pada saat terpilih sebagai Gubernur DKI tahun 2012 itu, perekonomian dunia juga belum pulih, sejak dilanda krisis ekonomi tahun 2008. Andai saja fondasi ekonomi Indonesia kala itu tak kuat, maka negeri ini bisa babak belur seperti 1998. Karena itu, perekonomian Indonesia saat Jokowi terpilih menjadi Presiden RI tahun 2014 itu jebol di bawah angka 5 %. Kondisi itulah yang membuat Jokowi sebagai Presiden RI putar otak, antaranya mempercepat infrastruktur, termasuk melahirkan Kartu Indonesia Sehat dan Pintar.
Hasilnya, kini perekonomian Indonesia survive bisa di atas 5 %. Ini peringkat ke-3 setelah India yang ada di peringkat 1 dengan pertumbuhan di atas 7 %, disusul Tiongkok di peringkat 2 dengan pertumbuhan 6 %, dan Indonesia di peringkat 3 dengan pertumbuhan di atas 5 %. Sementara di negara-negara maju, termasuk AS rata-rata jebol di bawa 3 %, bahkan minus.