Beberapa hal urgent (substantif) dari kesepakatan mereka adalah : (1). Sepakat mengakhiri perang, pasca gencatan senjata tahun 1953, (2). Setuju denuklirisasi, (3). Saling mengunjungi antar negara, (4). Menghentikan permusuhan, (5). Menghentikan siaran propaganda di perbatasan, (6). Mendirikan kantor penghubung, (7). Kedua negara menjadi rumah reuni keluarga pasca terpisah selama perang, (8). Menghubungkan kembali kereta api antar Korea, dan (9). Bersama berpartisipasi dalam Asean Games 2018.
Nampaknya kegiatan olahraga menjadi sisi urgent dalam perdamaian kedua Korea ini. Kebetulan, pada persiapan Asian Games 2018 yang ditetapkan di Korea ini, memang sempat mencairkan hubungan kedua negara. Beberapa persiapan yang dilakukan, memungkinkan kedua negara yang bertikai itu kerap harus bersama-sama, untuk melakukan  berbagai latihan seremonial acara, atau untuk event-event lainnya.Â
Kondisi dalam` negeri pun memaksa Kim melakukan ijtihad-nya. Mulai dari hasrat rakyatnya agar negerinya setara dengan negeri lain, khususnya dengan tetangganya di Selatan, juga persoalan ekonomi akibat tekanan ekonomi dunia yang memaksa Kim yunior itu untuk menata lagi sistem relasi kebangsaannya. Tentu saja dampak globalisasi, selain hasil karya negosiasi kedua negara yang disupport Rusia, China, Jepang dan AS.
Globalisasi memang dahsyat. Pemikiran sempit membuat orang bisa menjadi terbuka. Manusia semakin bisa membedakan, mana yang baik dan mana yang buruk. Bahwa di dunia ini ada moden Korea, yang berkonflik antara utara dengan selatan, atau ada model zionis Israel yang selalu berkonflik dengan rakyat Palestina, itu naturalis. Itu tak akan selamanya. Karena, kebenaran selalu akan menang. Tak pernah terbayangkan, saat Perang Dingin dulu, Jerman Timur bisa bersatu dengan Jerman Barat.Â
Yaman Utara dengan Yaman Selatan, Vietnam Utara dengan Selatan. Semuanya karena konflik ideologis, antara kapitalis dan komunis. Bahwa ada perpecahan dalam sebuah negara, seperti kasus Sudan Selatan dari Sudan, atau Timor Leste dari Indonesia, sejumlah negara pecahan Uni Soviet, Yugoslavia, dan sejumlah negara lainnya, itu bukan konflik ideologi masa lalu, melainkan karena ada dinamika lain yang memungkinkan mereka harus berpisah.
Karenanya respon dunia atas kejadian di Korea ini sangat optimistik. Paus Fransiskus, pemimpin utama Vatikan bahkan berdoa secara khusus agar kedamaian di muka bumi ini bisa terlaksana secara merata. Jokowi pun tak lupa menawarkan Indonesia menjadi wadah pertemuan lanjutan, khususnya antara Kim dengan Donald Trump dari AS. Tinggal konsistensi dari tokoh-tokoh dunia, agar apa yang sudah terjadi di semenanjung Korea itu menjadi model di semua negara.Â
Warga Palestina pun kita harapkan nantinya memiliki ruang yang sama, dan AS khususnya Trump mau menggunakan otaknya. Tokoh-tokoh negeri ini pun serta merta juga bercermin dari kejadian di dunia luar, bukan bikin gaduh konflik antar sesama anak bangsa. Insya Allah, pada saatnya, seperti pernah dikumandangkan almarhum Ayatollah Khomeini, pemimpin spiritual Iran, "kebenaran tak akan terbendung" ... Insya Allah ... !!! Â
*HM. Syarbani Haira, dosen pada Universitas NU Kalsel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H