TAHUN ini, 05 Oktober 2016, adalah Peringatan Hari Lahir atau Hari Ulang Tahun (HUT) Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke-71, yang dulu lebih dikenal dengan sebutan Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Perjalanan panjang TNI ini cukup mengesankan, diwarnai suka dan duka. Pernah di pimpin para Jenderal idealis, sehingga mengalami konflik dengan negara, khususnya di era Soekarno. Pernah pula sebagai alat (kekuasaan) negara, sehingga TNI (ABRI) manut saja apa kata yang memerintah, dalam hal ini apa kata Soeharto.
Reformasi politik yang melanda negeri ini sejak 1998, mengharuskan elemen TNI untuk memeras otak. Mereka menyesuaikan ide dan pemikiran, dengan irama politik yang berkembang. Terlebih jika dikaitkan dengan tuntutan (demonstran) massa tahun 1998 itu, di mana suara besar kepada TNI adalah hanya sebagai lembaga pertahanan belaka (yang sebelumnya memiliki fungsi Hankam, atau Pertahanan dan Keamanan).
Sejak itu, arus untuk memodernisasi TNI terus menggema. Kebetulan, salah satu pimpinan dan penggerak reformasi TNI adalah SBY, yang kelak menjadi Presiden RI yang ke-5. Sejak April 1999, reformasi internal TNI semakin signifikan. Indikasinya, ditetapkannya penghapusan kekaryaan. Reformasi ini semakin menguat, dengan dihapusnya doktrin Dwifungsi setahun kemudian, April 2000.
Pasang surut hubungan TNI dengan sipil di negeri ini, termasuk dengan pemerintah, cukup fluktuatif. Di era Orde Lama misalnya, di eranya Soekarno, terjadi hubungan yang “panas – dingin”. Pasca Soekarno, di era Orde Baru (Soeharto), di mana TNI menjadi sub-ordinate. Di zaman itu, apa kata Soeharto, TNI “selalu” yes oce ...
Sedang di era reformasi, hanya era Gus Dur lah hubungan TNI dengan Pemerintan (sipil) yang “panas – dingin”. Sementara di era BJ Habibi, Megawati, dan SBY (apalagi), serta Jokowi hari ini, relatif adem ayem saja, jika tidak disebut sangat “mesra”. Kenapa di zaman Gus Dur hubungan sipil – militer “memanas” ? Karena, Pertama, sudah menjadi watak dan menseat Gus Dur sejak dulu. Seperti kita ketahui, Gus Dur lah yang berani terbukti kepada Soeharto, berani mengkritik TNI. Gus Dur, seperti halnya masyarakat sipil lainnya, berupaya untuk menjauhkan TNI dari praktek politik praktis.
Kedua, Gus Dur memang punya misi besar untuk memajukan negeri ini, termasuk TNI. Salah satunya menempatkan politisi sipil yang superior. TNI bagi Gus Dur adalah alat negara. Dalam sejarah, Gus Dur lah yang berani memberhentikan Menko Polhukam di tengah jalan, Jenderal Wiranto. Gus Dur pula yang menghentikan Jenderal cerdas Sudrajat dari Kapuspen TNI. Dan, Gus Dur pula yang berani menghentikan Jenderal (pendiam) Fachrurrazi dari Wakil Panglima TNI.
Kemudian, Gus Dur ingin tetap melakukan reformasi TNI. Maka itu, ia kemudian meneruskan apa yang sudah dirintis BJ Habibi, menempatkan orang sipil, Prof. Dr. H. Mahfud MD, sebagai Menteri Pertahanan. Hari ini, beberapa kali TNI kembali menduduki jabatan Menteri Pertahanan itu. Gus Dur bahkan ingin membangun tradisi baru, di mana Panglima TNI tidak lagi harus dari unsur Angkatan Darat saja, melainkan bergiliran antar angkatan. Di zaman beliau lah, pimpinan Angkatan Laut (Jenderal Widodo) ditunjuk menjadi Panglima TNI.
Konsolidasi TNI
MESKI Gus Dur “gagal” melaksanakan misinya untuk mereformasi TNI, itu bukan berarti reformasi TNI tidak jalan sama sekali. Selain arus rakyat banyak yang menginginkan TNI direformasi, internal TNI sendiri banyak juga yang berjiwa reformis. Sejumlah jenderal kenamaan menjadi pelopor utama reformasi TNI ini.
Akan tetapi, tarik menarik antar institusi politik, terkadang membuat TNI kembali larut ke dunia politik praktis. Dengan alasan yang beragam, sejumlah anggota TNI akhirnya terjun ke dunia politik praktis. Beberapa tokoh militer yang akhirnya tergiur menjadi politisi, antara lain, SBY (yang belakangan terpilih menjadi Presiden RI), ada Yoyok Riyo Sudibyo yang menjadi Bupati Batang, ada Setyo Hartono yang menjadi Wakil Bupati Bojonegoro. Walau tidak jadi, tahun 2004 misalnya Panglima TNI Jenderal Endriarto Sutarto digoda oleh sejumlah politisi sipil untuk menjadi Calon Wapres RI. Berita teranyar, Agus Harimurti pun harus meninggalkan karier “cemerlang”nya, berhenti menjadi TNI hanya karena ingin mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI.