Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan merupakan tonggak penting dalam memberikan akses layanan kesehatan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Namun, dalam perjalanannya, program ini menghadapi tantangan serius yang berpotensi mengganggu keberlanjutannya. Pada tahun 2024, salah satu isu utama yang mencuat adalah rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebagai upaya untuk menutup defisit anggaran yang diperkirakan mencapai Rp 20 triliun. Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, mengungkapkan bahwa peningkatan utilisasi layanan kesehatan menjadi faktor utama yang mendorong defisit tersebut. Ia menyatakan, "Yang bikin defisit tentu utilisasi, karena utilisasi itu meningkat. Dulu cuma 252.000 sehari, sekarang 1,7 juta sehari." Langkah ini, meskipun bertujuan untuk menjaga keberlanjutan program, sering kali memicu kontroversi karena dinilai memberatkan sebagian masyarakat.
Defisit anggaran menjadi penyebab utama di balik kebijakan kenaikan iuran ini. Defisit terjadi karena tingginya biaya klaim pelayanan kesehatan yang tidak sebanding dengan pendapatan dari iuran peserta. Faktor seperti peningkatan utilisasi layanan kesehatan, ketidakseimbangan jumlah peserta aktif, dan pola pembayaran iuran yang tidak konsisten, terutama dari peserta mandiri, memperburuk situasi ini. Selain itu, inefisiensi dalam pengelolaan anggaran juga turut menjadi kendala dalam menjaga stabilitas keuangan BPJS.
Dampak dari defisit ini sangat serius, salah satunya adalah gagal bayar klaim kepada rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan. Situasi ini tidak hanya mengancam operasional fasilitas kesehatan, tetapi juga dapat mengurangi kualitas pelayanan yang diterima oleh masyarakat. Jika kondisi ini tidak segera ditangani, BPJS Kesehatan berpotensi kehilangan kepercayaan dari masyarakat dan penyedia layanan kesehatan, yang dapat membahayakan keberlanjutan program JKN.
Melihat situasi ini, diperlukan langkah strategis untuk mengatasi defisit, menyusun kebijakan kenaikan iuran secara bijak, dan memastikan pengelolaan anggaran yang lebih efisien. Hal ini penting agar program BPJS Kesehatan tetap mampu memberikan layanan kesehatan yang merata, terjangkau, dan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia.
Fakta di Balik Defisit
Defisit BPJS bukan masalah baru. Sejak awal, program ini dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat yang terus meningkat dengan sumber daya terbatas. Salah satu penyebab utama adalah biaya klaim atas penyakit katastropik seperti gagal ginjal, kanker, dan jantung yang menyerap 30% dari total anggaran BPJS. Selain itu, peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang dibiayai oleh pemerintah, menyumbang beban terbesar karena jumlahnya yang mencapai 96 juta jiwa.
Namun, masalah tidak hanya berhenti di situ. Peserta mandiri, yang seharusnya menjadi salah satu pilar pendanaan, memiliki tingkat kepatuhan yang rendah. Pada 2024, hanya 54% peserta mandiri yang membayar iuran tepat waktu. Akibatnya, pendapatan dari iuran tidak mampu menutupi biaya pelayanan. Di sisi lain, keterlambatan pembayaran klaim oleh BPJS menyebabkan rumah sakit mengurangi kapasitas layanan bagi pasien BPJS. Antrean panjang, keterbatasan obat-obatan, dan pelayanan yang seadanya mulai menjadi pemandangan umum di beberapa daerah.
Nasib Masyarakat: Di Mana Solusi?
Dampak defisit ini dirasakan langsung oleh masyarakat. Pasien BPJS kini harus menghadapi risiko layanan kesehatan yang tidak optimal. Rumah sakit, yang bergantung pada pembayaran klaim BPJS, mulai membatasi layanan untuk pasien JKN. Bahkan, sejumlah fasilitas kesehatan kecil di daerah terpencil terpaksa gulung tikar karena tidak mampu menanggung biaya operasional.
Di tengah situasi ini, rencana kenaikan iuran menjadi langkah kontroversial. Kenaikan ini memang masuk akal untuk memperbaiki neraca keuangan BPJS, tetapi bagaimana dengan masyarakat kelas bawah yang sudah terhimpit ekonomi? Survei LIPI pada 2024 menunjukkan bahwa 45% peserta mandiri merasa kesulitan membayar iuran. Jika kenaikan iuran diterapkan tanpa solusi pendukung, potensi tunggakan iuran akan semakin meningkat, memperburuk defisit yang sudah ada.
Reformasi Sistem atau Gagal Bayar?
Kenaikan iuran hanyalah solusi jangka pendek. Tanpa reformasi mendalam, BPJS Kesehatan akan terus berada dalam lingkaran setan defisit dan gagal bayar. Ada beberapa langkah strategis yang dapat diambil untuk menyelamatkan keberlanjutan program JKN:
Digitalisasi dan Efisiensi Sistem Penagihan: Rendahnya kepatuhan peserta mandiri menjadi masalah besar. BPJS perlu mengembangkan sistem penagihan berbasis digital yang terintegrasi dengan pengingat otomatis, terutama bagi peserta mandiri. Insentif berupa diskon bagi peserta yang rutin membayar juga bisa meningkatkan kepatuhan.
Meningkatkan Peran Preventif dan Promotif: Penyakit katastropik yang menyerap anggaran besar harus dicegah melalui edukasi kesehatan dan program promotif. Investasi dalam kesehatan masyarakat akan mengurangi biaya pengobatan dalam jangka panjang.
Pendekatan Hybrid dengan Asuransi Swasta: Pemerintah dapat mendorong masyarakat kelas menengah ke atas untuk menggunakan asuransi swasta sebagai pelengkap BPJS. Ini akan mengurangi tekanan pada sistem BPJS, sehingga dapat lebih fokus pada masyarakat miskin.
Transparansi dan Akuntabilitas: Kepercayaan publik terhadap BPJS harus dipulihkan melalui laporan keuangan yang transparan dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana. Penyediaan akses data real-time bagi publik bisa menjadi salah satu cara untuk membangun kepercayaan.
Untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan yang mengancam keberlanjutan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), diperlukan reformasi mendalam di berbagai aspek. Optimalisasi sistem pembayaran dan penagihan iuran harus menjadi prioritas, seperti digitalisasi sistem autodebit dan pemberian insentif bagi peserta yang rutin membayar. Selain itu, efisiensi pengelolaan anggaran melalui pengawasan klaim yang lebih ketat dan pengurangan pengeluaran administratif yang tidak perlu dapat membantu menekan beban biaya. Pemerintah juga perlu memperkuat verifikasi data penerima bantuan iuran (PBI) agar subsidi tepat sasaran, sambil mendorong kolaborasi dengan asuransi swasta untuk mendukung peserta kelas menengah atas. Program preventif seperti telemedicine dan kampanye gaya hidup sehat harus ditingkatkan guna mengurangi beban penyakit katastropik yang menyerap anggaran besar. Di sisi lain, transparansi pengelolaan dana dan komunikasi publik yang lebih baik diperlukan untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap BPJS. Dengan langkah-langkah strategis ini, BPJS Kesehatan dapat memperbaiki kinerjanya sekaligus menjaga akses layanan kesehatan yang merata dan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H