Mohon tunggu...
Syantrie Aliefya
Syantrie Aliefya Mohon Tunggu... Administrasi - Wiraswasta

Penggemar Puisi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Stop Pungli!

20 Oktober 2016   13:51 Diperbarui: 20 Oktober 2016   14:18 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pungli atau disingkat pungutan liar, sudah 38 tahun --kata Pak Bambang Setiawan-- seperti cendawan yang menjamur di musim hujan. Bukan hanya di kementerian sebagai institusi tertinggi tata kelola pemerintahan di tingkat pusat, tapi juga terjadi hingga ke pemerintahan level paling bawah setingkat desa/kelurahan, bahkan lebih jauh sampai ke tingkat RT yang tidak bergaji.

Pungli memang ada di mana-mana, menghiasi wajah cantik kehidupan kota, dan merias rupa seluruh dinamika kehidupan desa. Tanpa kita sadari pungli sudah menjadi bagian penting kehidupan kita sehari-hari. Pungli menjadi konsumsi lahir batin kita, menjadi transasi yang sudah dianggap wajar di seluruh birokrasi kota dan desa.

Pungli dilakukan ketika sebuah transaksi membutuhkan pengambilan keputusan dari aparat birokrasi pemerintahan. Pungli sangat erat dengan wajah birokrasi, sehingga negara ini bisa dan boleh serta sah dan wajar jika disebut negara pungli. 

Pungli punya varian yang cepat berkembang, ia beranak pinak, bertumbuh cepat seperti ilalang yang dibasahi deras hujan. Varian keturunan pungli disebut upeti. Bedanya cuma sedikit, Kalau pungli yang melakukan transaksi ibarat tangan di atas yang memungut uang untuk sebuah transaksi. Dan upeti adalah istilah jadul yang lahir ketika negara ini berada dalam zaman penjajahan dahulu kala, 350 tahun lalu. 

Seiring dengan perkembangan zaman, pungli dan upeti tumbuh lagi menjadi keluarga harmonis yang ditandai dengan lahirnya anak kesayangan para petinggi, pejabat dan pengusaha yang disebut korupsi.

Untuk mengatur maraknya pungli, boleh kita hitung sudah berapa banyak peraturan yang membatasi beranak pinaknya pungli, untuk itu lahirlah Undang Undang Korupsi di tingkat pusat dan disusul kemudian dengan lahirnya peraturan daerah yang disebut dengan retribusi. Namun apa yang terjadi, walaupun Undang-undang dan peraturan lainnya termasuk perda sudah diterbitkan untuk melawan arus pungli dan anak cucunya, tetap saja pungli terjadi.

Pungli, kini menjadi trending topic media mainstream dan media online, yang secara serta merta menaikkan rating tayang media di kanal berita, tak luput juga di kompasiana. Kini pungli sedang menjadi kambing hitam, ia dikejar-kejar bahkan oleh Presiden Jokowi sendiri yang menabuh genderang perang melawan pungli dengan melakukan OTT di kementerian perhubungan.

STOP pungli, menjadi slogan, namun janganlah kita berhenti hanya sebatas itu saja. Memberantas pungli, upeti, suap, sogok dan korupsi tidak hanya dilakukan sebatas kemauan tapi juga harus dilakukan dengan seluruh kesadaran tentang betapa berbahayanya penyakit menular yang sudah menjadi makanan keseharian bangsa ini.  

STOP PUNGLI - JANGAN MEMBERI - JANGAN MENERIMA
Semoga saja

Bandung, 20 Oktober 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun