Mohon tunggu...
Syantrie Aliefya
Syantrie Aliefya Mohon Tunggu... Administrasi - Wiraswasta

Penggemar Puisi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[FITO] Hologram

24 Agustus 2016   19:58 Diperbarui: 25 Agustus 2016   18:53 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah Desa kecil aku mengajar di sana sebagaii nstruktur pelatihan komputer di tiga sekolah dengan jumlah siswa 2000 orang.  

Sudah seminggu aku di sana. Entah kenapa, malam itu aku gak bisa tidur sampai larut malam. Karena belum sholat isya, aku pun iseng-iseng sholat di paviliun, aku ingat saat itu jam 23.30, setengah jam menjelang malam. 

Satu raka’at, dua raka’at, aman-aman saja. Raka’at ketiga kulewati dengan cukup khusyu, namun pada raka’at keempat pas duduk antara dua sujud, kurang lebih 10 meter mataku melihat dua betis putih mulus tanpa tubuh santai berjalan ke arah kanan menuju warung dan menghilang. 

Aku sadar aku sedang sholat isya di tengah malam buta ditemani kriik kriik bersahutan dari suara jangkrik dan kunang-kunang yang berkedipan. Hewan-hewan malam itu menemani kekhusyuan sehingga sholat isyaku selesai. 

Seusai shalat, aku berdo’a seperti biasa,dan di sela-sela do’a, mataku menatap ke arah bawah pas ujung sajadah, dengan jarak 10 meter. Sepasang betis tadi kini muncul dengan fisik seorang wanita, seperti hologram. 

Wajahnya mengarah padaku, dua tatap mata beradu pandang, aku terkesima, tak ada rasa takut.  

Setelah adu tatap, ia pun menghilang ke arah kiri, do’a pun selesai kupanjatkan. 

Rasa takut mulai muncul, bergegas aku ke bawah. Aku menoleh kekanan, ke kiri dan ke belakang, ternyata ia tidak mengikuti, hatiku lega. 

Di kamar tamu, mata ini tetap terjaga, dalam hati terus bertanya-tanya siapakah gerangan ia?

Iseng-iseng tirai penutup kaca sedikit kubuka, dua bola mata mengintip satu persatu area yang dilintasi wanita tadi. 

Dari arah kiri muncul seorang wanita, berbaju merah, rambutnya panjang, punggungnya kelihatan, tubuhnya utuh, lalu masuk ke arah kanan, ke warung yang sering dikunjungi siswa.

Aku masih penasaran, namun kantuk pun datang, aku menguap dalam-dalam, bergegas ke kamar tidur, kurebahkan badan, telentang, lampu kumatikan. 

Esok paginya aku bercerita, warga desa mengajakku ke kompleks sekolah, ditunjukkannya salah satu ruang kelas. 

"Sekitar dua tahun lalu", kata mereka.

"Seorang wanita cantik berambut pendek, bunuh diri dengan menggantung lehernya di salah satu ruang kelas di sekolah ini, ia berbaju merah."

Aku mengenang peristiwa itu, 15 tahun yang lalu. 

Bandung, 24 Agustus 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun