ketika insan merindu sesuatu
ada gelora hasrat nan menggebu
seperti bara yang berujung abuÂ
punggung sunyi kembali mengemuka
dari rasa ia mencoba melarikan dirinya
menuju hening di nirwana lokaÂ
repih rembulan dipahat para pesunyi
aksara tergerus pesuling bersembunyi
lalu tergugu dipacu lenggang di tepiÂ
di saat raga ini terus terjaga
duga berpelana di senggama kata
ya, sapa kita kokoh terarsir di beranda
segala yang telah menjadi debu
tak bisa berubah seiring roda waktu
mayang, kita telah tejebak menjadi kaku
tak pernah sekalipun aku mengizinkan
halaman rindu teronggok di pekarangan
yang kemudian berlalu menjadi hilangÂ
ini aku, tungku yang menghangatkan
setiap tumpukan kayu di perapian
aku tak membakar apatah lagi menghanguskan
ingatan itu selalu saja terngiang
merobek gumpalan waktu yang tenggelam
aku jatuh, dalam cekam dan tikaman Â
di setiap senja, selalu ada gores luka
lalu sembuh seiring rentang masa
sehingga lupa bahwa kita pernah ada
biarkan jiwa kita tenang terayun
agar wajah itu tetap menebar senyum
dan kita saksikan rindu tetap berduyunÂ
Bandung, 15 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H