(K)ebenaran dan (k)ebenaran, kadang keduanya sulit dibedakan. Karena (K)ebenaran yang hakiki (absolut) sulit ditemukan, jika tidak ditempelkan pada Tuhan. Tuhan pun, kadang jadi debatable bagi sebagian besar orang. Ada yang mengatakan bahwa Tuhan maha pemurah, sehingga tidak mungkin akan menyiksa manusia dan pasti akan memaafkan segala kekeliruan serta akan memasukkannya ke dalam surga-Nya.Â
Sementara, ada pendapat yang lain, mereka menganggap bahwa Tuhan tidak akan mengingkari janji-Nya. Dia akan menghukum manusia yang berdosa dan memasukkannya ke dalam neraka. Perdebatan ini terjadi dalam konstalasi pemikiran kalam.
Belum lagi jika berbicara tentang ilmu fiqh, maka perbedaan pendapat sangat banyak. Satu masalah bisa menghasilkan hukum yang berbeda dikalangan para ulma fiqh. Misalnya, soal Qunut dalam sholat subuh; Imam Syafi'i berpendapat bahwa qunut subuh sunnah muakkadah, Â dengan alasan bahwa Nabi tidak pernah meninggalkan sholat subuh.
Berbeda dengan Imam Ahmad bin Hambal yang mengatakan bahwa tidak ada qunut subuh, karena Nabi hanya melakukan qunut nazilah. Sementara dari segi prakteknya, Imam Syafi'i do'a qunut itu dilakukan ketika bangun dari ruku' (i'tidal) pada rakaat kedua. Sedangkan Imam Malik, prakteknya ketika rukuk dan membaca do'a qunut sebelum bangun dari rukuk. Belum lagi, dengan hal-hal furu'iah yang lain.
Dalam ilmu tasawwuf juga mengalami perdebatan. Mulai dari soal hukum, tarekat, ritual, maqamat, serta praktik, dan implementasinya. Aliran-alirannya pun berbeda; Â ada tasawuf Ahklaqi (Amali) yang diwakili oleh Al-Ghazali, tasawuf Sunni diwakili oleh Junaid Al-Bagdadi , dan tasawuf Falsafi diwakili oleh Yazid Al-Bustami, Al-Hallaj, dan Ibnu Arabi.
Apalagi jika bicara soal filsafat dan cabangnya; Â ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Hal ini melibatkan kerumitan pikiran. Karena aliran dalam filsafat begitu banyak; idealisme, materialisme, positivisme, Â empirisme, pragmatisme, esensialisme, eksistensialisme, skeptisisme, dan lain sebagainya. Setiap aliran filsafat ini berbeda pendapat dalam menjawab "hakikat ada" pada wilayah ontologis.
Demikian juga dengan pembicaraan hakikat ilmu, sumber ilmu, dan cara (metode) Â mendapatkan ilmu diranah epistemologis. Tidak berhenti ditataran itu, menetapkan tujuan dan manfaat ilmu yang ditemukan di wilayah aksiologis juga menjadi debatable.
Lalu, dimana kebenaran yang absolut? Kebenaran absolut tidak ada, keabsolutan muncul ketika ditempelkan pada sesuatu yang Absolut atau dianggap sakral dalam keyakinan individu atau kelompok. Klaim terhadap kebenaran absolut, juga karena adanya relasi kebenaran tersebut dengan kekuasaan. Antara kekuasaan dan kebenaran itu saling mempengaruhi dan saling menopang serta mengokohkan.
Namun, setiap kebenaran yang dibungkus dengan kekuasaan, maka akan timbul arogansi kebenaran. Demikian juga bahwa kekuasaan yang ditopang oleh kebenaran yang dianggap absolut maka akan timbul otoritarianisme.
Relasi kekuasaan dan kebenaran ini embrionya dapat dilacak, sejak terjadinya perang siffin antara Muawiyah dan Sayyidina Ali. Apalagi, setelah dinasti Umawiyah berkembang. Kadangkala terjadi tindakan kejahatan atas nama kebenaran. Pada masa dinasti Abbasiyah berkuasa juga demikian, bahkan bertambah parah. Kontestasi merebut kebenaran sangat kuat dalam upaya mendekati kekuasaan.
Setelah mereka berkuasa mereka berupaya menggunakan kekuasaan untuk menekan setiap pandangan yang berbeda dengan mereka. Contohnya, adalah peristiwa mihnah yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hambal. Beliau harus dihukum karena menolak pandangan penguasa tentang Al-Qur'an sebagai mahluk.
Bepindah kepada abad renaisans atau aufklarung yang terjadi di Barat. Pemberontakan intelektual dan spiritual terhadap kebenaran absolut yang dianut Gereja (Vatikan). Marthin Luther melawan ortodoksi Gereja yang telah banyak melakukan tindakan kejahatan atas nama (k)e(b)enaran yang dianggap (K)e(B)enaran absolut.
Dia tidak bisa dibantah dengan alasan apapun. Tokoh Ilmuwan Copernicus dan Galileo Galilei dihukum pancung akibat pemikiran atau penemuannya yang bertolak belakang dengan keyakinan Gereja.Lagi-lagi relasi buruk kekuasaan dan kebenaran memakan korban.
Hal demikian juga dialami oleh para tokoh pemikir muslim abad ke-20; Nasr Hamid Abu Zaid, Abu Fadl Ebou, Fazlur Rahman, diusir di Negaranya karena kebenaran yang mereka bawa berbeda dengan kebenaran yang berafiliasi dengan kekuasaan. Sehingga, posisi mereka terpojokan dan bahkan dijatuhi hukuman gantung akibat dari kebenaran yang mereka bawa.
Buku-buku mereka dibakar dan dilarang untuk dibaca, apalagi dikaji. Relasi kebenaran dan kekuasaan menyebabkan kebenaran tertutup menjadi milik kelompok bahkan individu.
Jika dirujuk dalam Al-Qur'an, kisah Nabi Ibrahim (QS. 21 : 55-69), Nabi Musa (QS. 7: 103-130), Â dan Nabi Yusuf (QS. 12: 23-34). Kisah mereka adalah mewakili bagaimana kekuasaan menentukan kebenaran dan melakukan tindakan represif terhadap kebenaran yang lain yang diluar dirinya, bahkan terhadap (K)ebenaran absolut sekalipun.
Dalam konteks Indonesia pun mengalami hal yang sama. Setiap kebenaran yang memilki relasi yang kuat dengan kekuasaan maka kebenaran tersebut akan mendominasi. Kebenaran tersebut memiliki daya tekan yang sangat kuat. Bahkan, kebenaran tersebut memiliki otoritas untuk menilai kebenaran yang lain dengan standar kebenaran yang dia usung.
Kesimpulan saya bahwa relasi kekuasaan dan kebenaran sangat kuat. Mereka saling menunggangi satu sama lain untuk mempertahankan status quo-nya. Dan, tidak heran hubungan atau kolaborasinya kedua menimbulkan sikap arogansi atas keduanya, Â sehingga kerapkali melakukan tindakan kekerasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H