Istilah toron atau mudik (pulang kampung atau lebih tepatnya pathobin) ke kampung halaman memang rasanya merupakan hal biasa terjadi. Karena hal tersebut bisa terjadi di kalangan berbagai bangsa dan etnis di dunia. Istilah toron sebenarnya merupakan kebalikan dari istilah onggha (dalam istilah orang Madura), dalam artian merupakan migrasi ke tempat lain yang dituju (emigrasi). Maka dengan demikian, muncul muncul istilah toron di masyarakat Madura. Istilah tersebuttidak lepas karena ada aktivitas perpindahan (onggha). Bagi etnis Madura syarat onggha harus terjadi perpindahan ke luar pulau, sehingga jika terjadi perpindahan masih dalam kawasan pulau Madura, maka hal itu belum dapat dikatakan onggha.
Jika boleh membahas lebih jauh tradisi toron, sebenarnya termotivasi kuat oleh ajaran agama, hanya saja pola dan cara pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan karena pola budaya. karena dalam ajaran agama yang kita anut (mungkin termasuk di agama lain), ajaran agama tidak secara detail mengatur bagaimana pemeluknya melakukan praktik peribadatan, terutama ibadah yang ghairu mahdhah. Karena itulah, di sini kultur lokal mendapat tempat dan ruang untuk bsia memberikan warna dalam bentuk-bentuk peribadatan yang dilakukan oleh komunitasnya, termasuk mengekspresikan tradisi toron yang telah lama dipratikkan oleh etnis Madura.
Di sisi lain, bagiamana pun bentuknya, tradisi toron itu sendiri telah menjadi tradisi yang tak pernah alpa digelar, karena lahirnya tradisi tersebut merupakan hasil dari sebuah proses interaksi sosial dalam ruang publik dengan berbagai ikatan normatifnya. Sehingga jika ingin mengenal lebih dekat tentang berbagai model tradisi toron di kalangan etnis Madura, wabil khusus Sumenep, antara lain bisa dipahami dari identitas mereka sebagai Muslim yang berkarakter, misalnya mereka punya cita-cita kuat untuk bisa naik haji, dan bahkan sangat bangga menyandang predikat “haji”. Selain itu mereka sedemikian hormat terhadap pemuka agama (dalam hal ini adalah kiai), menjunjung tinggi hari-hari besar keagamaan, mengapresiasi pendidikan agama, serta punya kebiasaan membangun mushala/langgar.
Oleh karena, tak heran perhatian etnis Madura terhadap hari-hari besar Islam sedemikian kuat dan mengakar, sehingga mereka yang menjadi musafir lebaran, hidup bertahun di di rantau selalu ingin meluangkan waktu agar bisa pulang kampung (toron), selain juga karena ada motif lain. Mereka juga ingin melakukan kegiatan seperti ta’ziyah karena ada keluarga yang meninggal, ziarah kepada anggota keluarga yang akan berangkat maupun pulang dari ibadah haji, acara perkawinan, sowan (acabis dalam istilah santri-kiai) kepada kiai, ziarah kubur kedua orang tua, dan lain sebagainya.
Memang, hal di atas masih bersifat insidental, namun harus diakui aktivitas semacam ini telah mentradisi di kalangan etnis Madura. Sehingga saat mereka pulang kampung, ada banyak kegiatan yang mereka lalui, mengadakan acara bersamakeluarga, adakan buka puasa, sisikan waktu untuk sowan ke kiai. Termasuk yang lebih baru, tradisi toron juga kadang sebelum balik lagi ke rantau, mereka masih menyambangi tempat-tempat hiburan dan wisata di Kabupaten Sumenep, seperti pantai Lombang, Slopeng, dan tempat hiburan lain. Atau berziarah ke makam-makam pahlawan seperti di Asta tinggi, Asta Yusuf, dan mengunjungi Museum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H