Beberapa orang yang usianya mungkin sepantaran denganku, berbaju batik tak seragam, turun dan keluar dari lift, tak jauh dari tempat kami duduk menunggu panggilan untuk mengambil obat. Di depan kami persis, apotik rumah sakit, masih ramai dengan orang-orang yang mengantri. Semuanya duduk manis di kursi berbahan logam yang kelihatan tak lagi baru. Tak jauh di sebelah kanan ada tulisan 'Pasien Askes'.
    Sejak Bunda - istriku tercinta - wafat beberapa bulan silam, anak semata-wayangku yang masih kelas enam SD ini memang kadang-kadang harus kubawa ikut serta, apalagi kalau sedang tak ada saudara yang bisa menemaninya di rumah. Dulu Bunda selalu bersamanya sambil berjualan nasi di warung merangkap rumah kami.
   "Ayah, lihat, ada Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu !" anakku berseru sambil menunjuk ke arah pintu lift yang masih terbuka. Buku di sebelah-tangannya sekarang.
   "Kelihatannya mereka guru honorer, Yah.." lanjutnya. Kali ini santai, datar, dan polos.
    Kuletakkan di pahaku buku yang sedang kubaca. Aku memang sengaja membiasakan membawa buku ke mana pun pergi. Tidak saja untuk berusaha menambah ilmu pengetahuan dan informasi, atau kadang bisa juga sekedar mengisi waktu luang, tapi juga untuk memberi contoh kepada anakku dan murid-muridku, bahwa buku adalah sahabat setia yang harus senantiasa mendampingi sehidup-semati.Â
    Sambil tersenyum di dalam hati dan mencoba mengingat-ingat kapan aku pernah ngobrol dengan anakku ini terkait istilah 'honorer', kuperhatikan Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu itu berjalan keluar dari lift menuju ke arah depan. Biasa saja. Tak ada ciri tertentu. Mungkin aku kurang jeli ?
   "Dari mana Hira tahu ?" tanyaku.
   "Badannya kurus-kurus kayak Ayah !" lanjutnya dengan tetap santai, tapi tegas.
   "Hahahahaha..." aku tak dapat menahan tawa mendengarnya. Tiba-tiba saja aku bisa tak peduli orang-orang di sekitar kami akan terganggu. Terasa begitu lucu, cerdas, dan akrab. Kalau tak lucu, mana mungkin aku bisa tertawa lepas. Kalau tak cerdas, mungkin aku akan marah mendengarnya. Kalau tak akrab, tak mungkinlah kami berdua bersama bergurau di sana pada hari itu.
   Betapa bahagia aku punya anak Hira. Analisisnya jujur, cerdas, tajam, dan berani. Rada mirip dengan slogan surat kabar terkenal itu. Lebih keren malah. Kocak pula. Pokoknya lengkap deh..  Alhamdulillah, semoga ini berarti aku cukup berhasil menanamkan beberapa karakter positif - yang sekarang populer dengan sebutan profil pelajar Pancasila itu - ke dalam jiwa anakku yang masih sangat belia ini. Dalam hati aku berdo'a semoga dia tetap konsisten hingga kelak suatu saat menjadi salah seorang pemimpin di negeri ini.
   Selepas itu, tiba di rumah, mengalir kutulis berderet kalimat :Â
Hira anakku..
Saat-saat begini
teringat Ayah ketika dulu
kita boncengan bersepeda
melintasi alun-alun desa
berpapasan dengan Pak Umar Bakri
Ramah beliau menyapamu
cerah sumringah wajahnya
meski hanya baju lusuh dan kusam
membalut tubuhnya yang kurus
Gurumu itu sudah almarhum sekarang
tapi anak-anaknya semua sudah jadi orang
Entah dari mana saja dia mencari tambahan
untuk biaya hidup keluarganya
Hira..
Sebetulnya Ayah salut dengan gurumu ituÂ
Tapi.. Ayah berharap..
kalau bisa, kamu jangan jadi guru ya..
Ayah khawatir tentang kecukupan hidupmu nanti sekeluarga
Boleh sih jadi guru..
tapi kau harus pintar cari tambahan
Gaji saja tak kan cukup untuk kuliah anak-anakmu kelak
Apalagi untuk juga beli rumah dan mobil
Anakku..
kalau boleh Ayah usul,
mending kau jadi dokter saja
Orang kaya sekarang banyak yang takut mati
Mungkin merasa banyak dosa
batuk pilek sedikit mereka datang ke dokter
Tarifnya mahal
kau bisa cepat kaya
Pendapatan sebulan mungkin sama
dengan beberapa tahun gaji Pak Umar Bakri
Atau.. boleh juga kau jadi anggota DPR
setahu Ayah gajinya jauh lebih gede
gizimu sekeluarga tujuh turunan akan terjamin
badanmu akan cepat gemuk dan sehat
Kau tak perlu pikirkan biaya listrik dan pulsa internet
bahkan gorden jendelamu ada yang mengurus
Hira anakku..
Kalau kau mau jadi polisi atau tentara, boleh juga
nanti kau akan punya plat nomor khusus untuk mobilmu
Eh, tapi jangan ding..
Ayah khawatir nanti kau jadi sombong
dan bergaya di jalanan
Orang-orang akan takut dan benci kepadamu
Begini saja deh..
Lebih baik kau jadi pengambil kebijakan
agar kau bisa buatkan plat nomor khusus
untuk sepeda motor para guru se-Indonesia
agar bila mereka lewat, meski tanpa sirene
semua orang akan dengan senang hati memberi jalan
dan menyanyikan lagu Himne Guru
Eh, tapi jangan ding..Â
Anakku..
Silahkan kau jadi apa saja
sesuai minat dan bakatmu
Yang penting..
kau tetap konsisten dalam kebaikan
untuk bangsa dan negaramu
Cibinong, 25 November 2022
Syamsul Rizal Ikhwan
(Guru dan Praktisi Musik)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H