Mohon tunggu...
Syamsul Rizal Ikhwan
Syamsul Rizal Ikhwan Mohon Tunggu... Guru - Guru Musik

Suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Konsisten dalam Kebaikan

12 Desember 2024   15:35 Diperbarui: 12 Desember 2024   15:50 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

       Beberapa orang yang usianya mungkin sepantaran denganku, berbaju batik tak seragam, turun dan keluar dari lift, tak jauh dari tempat kami duduk menunggu panggilan untuk mengambil obat. Di depan kami persis, apotik rumah sakit, masih ramai dengan orang-orang yang mengantri. Semuanya duduk manis di kursi berbahan logam yang kelihatan tak lagi baru. Tak jauh di sebelah kanan ada tulisan 'Pasien Askes'.

       Sejak Bunda - istriku tercinta - wafat beberapa bulan silam, anak semata-wayangku yang masih kelas enam SD ini memang kadang-kadang harus kubawa ikut serta, apalagi kalau sedang tak ada saudara yang bisa menemaninya di rumah. Dulu Bunda selalu bersamanya sambil berjualan nasi di warung merangkap rumah kami.

      "Ayah, lihat, ada Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu !" anakku berseru sambil menunjuk ke arah pintu lift yang masih terbuka. Buku di sebelah-tangannya sekarang.

      "Kelihatannya mereka guru honorer, Yah.." lanjutnya. Kali ini santai, datar, dan polos.

       Kuletakkan di pahaku buku yang sedang kubaca. Aku memang sengaja membiasakan membawa buku ke mana pun pergi. Tidak saja untuk berusaha menambah ilmu pengetahuan dan informasi, atau kadang bisa juga sekedar mengisi waktu luang, tapi juga untuk memberi contoh kepada anakku dan murid-muridku, bahwa buku adalah sahabat setia yang harus senantiasa mendampingi sehidup-semati. 

       Sambil tersenyum di dalam hati dan mencoba mengingat-ingat kapan aku pernah ngobrol dengan anakku ini terkait istilah 'honorer', kuperhatikan Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu itu berjalan keluar dari lift menuju ke arah depan. Biasa saja. Tak ada ciri tertentu. Mungkin aku kurang jeli ?

      "Dari mana Hira tahu ?" tanyaku.

      "Badannya kurus-kurus kayak Ayah !" lanjutnya dengan tetap santai, tapi tegas.

      "Hahahahaha..." aku tak dapat menahan tawa mendengarnya. Tiba-tiba saja aku bisa tak peduli orang-orang di sekitar kami akan terganggu. Terasa begitu lucu, cerdas, dan akrab. Kalau tak lucu, mana mungkin aku bisa tertawa lepas. Kalau tak cerdas, mungkin aku akan marah mendengarnya. Kalau tak akrab, tak mungkinlah kami berdua bersama bergurau di sana pada hari itu.

      Betapa bahagia aku punya anak Hira. Analisisnya jujur, cerdas, tajam, dan berani. Rada mirip dengan slogan surat kabar terkenal itu. Lebih keren malah. Kocak pula. Pokoknya lengkap deh..  Alhamdulillah, semoga ini berarti aku cukup berhasil menanamkan beberapa karakter positif - yang sekarang populer dengan sebutan profil pelajar Pancasila itu - ke dalam jiwa anakku yang masih sangat belia ini. Dalam hati aku berdo'a semoga dia tetap konsisten hingga kelak suatu saat menjadi salah seorang pemimpin di negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun