lagu "Satu Nusa Satu Bangsa Satu Bahasa" kepada anak-anak di suatu sekolah beberapa waktu yang lalu. Memasuki bulan Oktober, seperti biasa setiap tahun, sebagai guru musik, saya memopulerkan kembali lagu itu kepada mereka. Hitung-hitung ikut serta menumbuhkan, menjaga, dan merawat semangat Sumpah Pemuda, sebagaimana peringatannya kita rayakan tiap tahun pada 28 Oktober.
Ada pengalaman menarik saat saya mengajarkanSingkat cerita, bernyanyilah kami :
         Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita
         Tanah air pasti jaya untuk s'lama-lamanya
Saat nyanyian sampai di baris kedua ini, tiba-tiba seorang anak menyela sambil mengangkat tangannya.
"Pak ! Kata Pak Fulan, kita tidak boleh bilang 'pasti' untuk sesuatu yang belum bisa kita pastikan !" kata si anak tadi dengan menyebut nama guru agamanya.
Ups cukup kaget juga saya mendengarnya. Seumur-umur saya mengajarkan lagu ini, baru kali ini saya diprotes. Oleh anak kelas 4 SD pula. Matilah awak !
"Oh ya ? Mengapa ? Lalu harus bilang apa ?" tanya saya setengah sadar.
"Mestinya 'insyaAllah', Pak !" jawab anak tadi ditimpali teriakan setuju "Ya, Pak" ; "Betul, Pak" ; oleh beberapa temannya.
"Lha.. terus.. jadi lagunya gimana ?" lanjut saya.
          Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita,Â