Mohon tunggu...
Syamsul Huda
Syamsul Huda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Kimia Universitas Sebelas Maret

Chemistry

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Revisi UU ITE yang Tak Kunjung Selesai

26 Oktober 2021   19:05 Diperbarui: 26 Oktober 2021   20:00 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: republika.co.id

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang dalam bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik yang berisi aturan-aturan peletakan dasar pengaturan dalam bidang pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik. Akan tetapi, kenyataannya, implementasi dari UU ITE ini mengalami berbagai macam persoalan.

Berbagai persoalan ini terjadi dikarenakan adanya pasal-pasal 'karet' pada UU ITE. Pasal karet adalah istilah yang digunakan untuk menyebut pasal atau undang-undang yang dianggap memiliki tolok ukur yang tidak jelas. Pasal karet yang dimaksud adalah pasal 27, pasal 28, pasal 29, dan pasal 36 UU ITE.

Baru-baru ini, pada pertengahan 2021, terjadi kasus pemidanaan aksi dan pasal karet dalam UU ITE. Kali ini menimpa Saiful Mahdi yang merupakan dosen Fakultas MIPA Unsyiah Aceh. Ia divonis tiga bulan penjara dan denda Rp10 juta setelah ia dilaporkan ke polisi karena mengkritik hasil tes CPNS dosen teknik Unsyiah. 

Ia  dikenakan pasal pencemaran nama baik yang tertera dalam pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE. Apa yang terjadi pada Saiful Mahdi ini menambah panjang deretan kriminalisasi akibat Undang-Undang ITE. Saiful Mahdi juga menjadi orang kedua yang akhirnya menerima amnesti dari Presiden Joko Widodo setelah kasus Baiq Nuril.

Menilik ke belakang, sebelumnya terdapat kasus serupa yang menimpa Baiq Nuril pada September 2018. Baiq Nuril merupakan guru honorer asal Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dipidanakan karena merekam percakapan mesum kepala sekolah. Ia dijerat dengan UU ITE dalam kasus berupa penyebaran informasi percakapan mesum kepala sekolah tempat ia pernah bekerja dan dihukum dengan enam bulan penjara dan denda Rp500 juta.

Pemberian amnesti seharusnya tidak diperlukan untuk kasus ini jika UU ITE segera direvisi. Amnesti yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo justru menandakan bahwa sistem peradilan gagal dalam melindungi masyarakat dari karetnya pasal dalam UU ITE. 

Diketahui selama masa kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo telah memberikan dua amnesti pada kasus yang sebetulnya dari awal tidak perlu terjadi. Negara tidak memiliki kepentingan untuk memberikan amnesti tersebut. Amnesti pada dasarnya diberikan untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan rezim.

Kasus Saiful Mahdi dan Baiq Nuril hanya merupakan sedikit dari banyaknya kasus yang telah terjadi akibat dari UU ITE ini. Berbagai lembaga riset seperti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat sejak tahun 2016 hingga 2020 telah ditemukan 768 perkara pidana akibat UU ITE. Sekitar 96,8% diantaranya divonis bersalah. 

Begitu pula dari data yang dikutip dari laman Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) yang mencatat adanya 82 masyarakat terjerat UU ITE. Hal ini harus menjadi pertimbangan akan revisi UU ITE yang harus segera ditindaklanjuti.

Revisi UU ITE pada mulanya dijadwalkan pada bulan Februari. Lalu, pada bulan Juni  ditandatanganilah Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri. SKB 3 Menteri dimaksudkan supaya menjadi pedoman yang diharapkan bisa melindungi masyarakat atas adanya pasal-pasal karet dalam UU ITE. 

SKB 3 Menteri ini berlaku sementara sembari menunggu revisi terhadap UU ITE. Dikeluarkannya SKB 3 Menteri memang menjadi sebuah cahaya harapan dalam menegakkan keadilan di negeri ini. Namun, yang harus diperhatikan adalah pedoman ini tidak bisa digunakan selamanya. Haruslah ada undang-undang resmi sebagai landasan dalam menegakkan hukum yang adil.

Sejak awal direncanakan sidang revisi pada pasal-pasal yang bermasalah dalam UU ITE, proses pembahasannya berjalan sangat alot. Alotnya sidang revisi UU ITE ini terjadi karena adanya berbagai perdebatan yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti karakter kepemimpinan dan karakter demokrasi. 

Ini menyebabkan revisi tak kunjung menemukan titik terang. Walaupun begitu, pemerintah harus tetap berusaha sebaik mungkin agar revisi UU ITE ini membuahkan hasil yang dapat diterima oleh semua rakyat Indonesia.

UU ITE memang sejatinya diciptakan sebagai sebuah pembatas dalam kebebasan berpendapat. Pembatasan ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan dan hak-hak rakyat Indonesia. 

Namun, munculnya pasal-pasal karet dalam UU ITE dan ditambah dengan penyalahgunaan yang terjadi malah menimbulkan masalah baru yang tak kunjung usai. Wacana revisi UU ITE harus segera direalisasikan sampai tuntas. Diharapkan pemerintah segera mengatasi masalah terkait UU ITE agar pasal-pasal ini bisa memihak rakyat bukan justru malah menyerang rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun