Mohon tunggu...
Syamsul Hidayat
Syamsul Hidayat Mohon Tunggu... Freelancer - Founder Kopi Seduh Institute

Belajar memberi makna dan berusaha mengamalkan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Tutug Pisang

28 Mei 2020   06:09 Diperbarui: 28 Mei 2020   06:24 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu pisang apa yang enak di jadikan kudapan? Ditumbuk dicampur bersama nasi, di tambah garam dan cikur sebagai perasa dan rempah. Sebagian besar generasi X yang hidup diperkampungan, khususnya Sunda, akan bisa menebak pertanyaan tersebut. 

Pisang adalah salah satu buah yang oleh ahli tafsir Qur'an di sebut pohonnya tumbuh di Surga, pohon dengan buah bertandan, pohon yang buahnya menjuntai bersusun, iya, pohon seperti itu di kenal di sekitar kita sebagai pohon pisang.

Caranya, pisang yang sudah tua tapi belum matang itu di kupas kulitnya, kemudian di masukan ke bara api di tungku masak dapur, tunggulah sampai ia berubah dari putih ke kuning, sedikit membintik coklat menggosong, jika sudah  berubah warna begitu dan tercium aroma khas, pisang sudahlah laik di tumbuk.

Menurut beberapa literature, pisang adalah tanaman buah yang pertama kali di temukan di Asia Tenggara, letaknya di Papua Nu Gini. Papua Nu Gini itu merupakan dari Papua, saat dulu hampir mau di masukan ke wilayah Republik Indonesia, namun dengan alasan tertentu hanya Papua Barat saja yang dipertahankan. Setelah di temukan di Papua Nu Gini barulah pisang menyebar ke Seantero negara.

Di pagi buta, saat libur pengajian subuh atau saat malas mengaji, sepulang dari masjid kami langsung ke dapur menyodok posisi ibu di depan tungku masak, ibu senang karena ada yang menunggui mengganti-ganti kayu bakar biar api tungku terus menyala, dingin udara menyebabkan gigil seketika sirna, dan kata orang tua anak-anak yang suka berlama lama siduru adalah anak malas. 

Sesaat kemudian ibu mendekat lagi ke tungku, tetiba suntrungan pelan tangannya di kepala kami seraya bersungut ngomel dengan sebab api tungku menjadi mati akibat kami membakar pisang yang banyak dalam bara api ditungku itu.

Selain pisang ada lagi lima buah lainnya yang disebut dalam Al-Qur'an tumbuh di Surga. Dan dari yang enam itu, diantaranya hanyalah pisang yang berasal dari Asia Tenggara. Anggur di perkirakan berasal dari Asia Selatan, sekitar Laut Hitam. Delima berasal dari Iran. Kurma dari Teluk Persia, Zaitun diperkirakan dari Mediterania atau Suriah dan Turki. Pohon Tin masih berasal kawasan Asia Barat (Timur Tengah).

Kebiasaan kami, walaupun tidak selalu, setelah mandi dan bersiap sekolah, kudapan yang siap kami santap sudah terbungkus daun pisang, itulah tutug pisang. Sambil berteriak-teriak riang kami memanggil kawan untuk berangkat bersama, dan kudapan tutup pisang itu sepanjang jalan kami makan di cemil-cemil dalam bulatan kecil. Dan tutug pisang itu mengisi perut kami sebagai sarapan dan sampai pulang sekolah telah membuat cukup tanpa jajan atau makan lainnya.

Dan, kini kadang kami bertanya, kenapa pisang  yang di tumbuhkan semula oleh Tuhan di Asia Tenggara? Mungkinkah karena pisang bukan buah se-istimewa pohon Surga lainnya. Ataukah  kebanggaan terhadap pisang memang sudah Tuhan atur tidak melebihi rasa bangga terhadap pohon Surga lainnya. Padahal pisang, Tuhan penuhi gizinya setara pohon Surga lainnya itu. Ataukah watak kami memperlakukan pisang yang rendah syukur.

Jika melihat nasib pisang di kampung kami; jika melihat kebanggaan sebagian orang terhadap pisang, jika melihat harga jual pisang, mungkinkah buah pisang sebenarnya bukan buah Surga yang di maksud dalam Al-Qur'an tersebut. Ya, memang dulu ahli tafsir sebenarnya ada juga yang ragu bahwa pisang di Surga bentuknya seperti pisang yang kita kenal sekarang.

Dan kini dalam kebodohan kami, kami mengenang tutug pisang sebagai simbol kesederhanaan, bahkan kemiskinan. Padahal justru mungkin itu makanan yang jika dikonsumsi sekarang bisa lebih menyehatkan di banding makanan saat yang selalu bercampur zat kimia. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun