Sebuah pesan pendek masuk ke dalam telepon seluler milikku. Hari itu waktu menunjukkan pukul 23.00. Dalam keadaan masih mengantuk, ku raih telepon seluler yang ada di meja kecil, disamping tempat tidurku.
"Bapak mau menikah lagi.Mohon restunya" begitulah pesan singkat itu. Benar-benar singkat.Tapi begitu menyentak ulu hati.
Tak lama setelah aku baca pesan pendek itu, masuk lagi pesan pendek dari enam saudara-saudaraku .Isinya sama."Mari kita tentang rencana bapak, besok kita kumpul". Aku tidak langsung menjawab kiriman pesan dari saudara-saudara itu. Mataku berat untuk melihat keypad telepon seluler. Aroma bantal membawa aku tidur kembali.
"Kita harus menentang rencana bapak"
"Itu sama saja mengkhianati cinta ,"
"Saya tidak akan pulang lagi ke dusun, jika ada orang baru di keluarga kita,"
"Tolong katakan pada bapak, pilihlah, lebih baik punya isteri baru atau kehilangan tujuh anaknya"
Begitulah perdebatan yang terjadi dalam musyawarah kami tujuh beradik di rumah Ivada, saudara perempuan tertua kami. Aku anak keenam dari tujuh bersaudara. Empat perempuan tiga laki-laki. Dua kakakku yang laki-laki setuju dengan rencana bapak. Satunya menentang keras.
Sedangkan kami, empat perempuan, hanya adikku yang patuh dengan rencana bapak.
"Saya harus taat pada orangtua. Itu ajaran agama," kata Syamilah, adikku.
Mang Tarman, adik bapak, menjadi pemantau jarak jauh musyawarah kami tujuh beradik sekaligus juru bicara kami terhadap bapak.