Mohon tunggu...
Syamsul Bahri
Syamsul Bahri Mohon Tunggu... Administrasi - coretan seadanya berawal dari minum kopi.

Menulis untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Ketika Liga-liga Eropa Mulai Membosankan

9 Februari 2020   22:25 Diperbarui: 10 Februari 2020   20:48 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi nonton pertandingan sepak bola di televisi. (sumber: SHUTTERSTOCK)

Dalam setahun terakhir, minat saya untuk menonton sepak bola Liga di Eropa terasa mengalami penurunan. Beda dengan sebelumnya, di mana malam Minggu dan Senin menjadi malam yang dinantikan untuk menyaksikan secara live laga klub andalan.

Ditambah lagi, laga Natal di Liga Inggris yang dikenal dengan Boxing Day. Termasuk juga, ketika klub andalan berlaga di Liga Champions yang disiarkan malam Rabu dan Kamis walaupun tidak setiap Minggu.

Menurunnya ketertarikan saya untuk menonton, salah satunya disebabkan karena prestasi klub andalan yang merosot. Biasanya dan sudah lumrah, prestasi klub dipengaruhi oleh kondisi keuangan klub dan situasi ruang ganti pemain. Baik hubungan antar pemain maupun antar pemain dengan pelatih.

Kondisi keuangan klub juga "memaksa" beralih untuk memberdayakan dan membina pemain muda. Klub elite Italia, AC Milan, menerapkan seperti ini ketika proses regenerasi pemain terlambat dilakukan. 

Pemain andalan yang mengantarkan Klub meraih prestasi dan bersaing dengan klub besar lainnya perlahan "termakan" usia dan mengalami penurunan drastis dalam permainan.

Ini yang terjadi pada sosok seperti Gattuso, Ambrosini, Seedorf, hingga Maldini yang merupakan pemain yang mengantarkan AC Milan berjaya bersama pemain lainnya seperti Ricardo Kaka dan Andre Sevchenko setelah era Ruud Gullit dan Van Basten.

Beda halnya dengan Klub kaya Liga Inggris, Manchester United. Klub yang tidak bisa Move On dari sosok pelatih, Sir Alex Ferguson. Prestasi klub tidak stabil dan cenderung merosot walaupun pernah ditangani Jose Mourinho yang diprediksi akan menjadi penerus kesuksesan Alex Ferguson menangani Klub tersebut.

Logo Premier League (sumber: premierleague.com)
Logo Premier League (sumber: premierleague.com)
Namun, tidak 100% kondisi keuangan klub mempengaruhi capaian prestasi. Sebutlah Leicester City, klub Liga Inggris yang diluar dugaan mampu menjuarai Liga Inggris 2016. Menurut saya, ini lebih karena faktor kejelian dalam berbelanja pemain dan tentunya ada harmonisasi dalam tim sehingga konsisten di setiap laga.

Sesuatu yang sangat berlebihan ketika keuangan Klub yang mampu membeli pemain bintang seperti Manchester City, Manchester United , Liverpool dan Chelsea di bandingkan dengan Leicester City. Tapi menurut saya, itu tadi, ada harmonisasi dalam tim.

Kondisi keuangan klub Eropa sangat dipengaruhi oleh siapa pemilik atau pemegang saham utama klub. Ini juga mulai terasa di Liga Indonesia yang lebih dikenal dengan Liga 1.

Beberapa klub peserta Liga seperti bersaing mencari dan merekrut pemain bintang. Stadion pun dibenahi, mulai dari tampilan, kenyamanan, hingga kapasitas tempat duduk. Harapannya banyak supporter menonton di stadion sehingga pemasukan klub bertambah. Tentunya, harus profesional dalam pengelolaan tiket.

Mereka sepertinya menyadari bahwa prestasi klub akan sangat mempengaruhi masuknya sponsor yang bisa mendukung klub mengarungi liga. Salah satu liga yang membutuhkan dana operasional tim yang besar karena kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.

Contoh klub kebanggaan masyarakat Sulsel, PSM Makassar, yang seluruh pertandingan tandang harus dengan menggunakan pesawat. Berbeda dengan klub di Jawa yang sebagian pertandingannya dapat dijangkau dengan menggunakan mobil.

Kembali terkait kejenuhan menonton, khususnya liga favorit Liga Inggris. Liga yang menurut saya tidak dipengaruhi oleh adanya Klub andalan, namun lebih kepada suguhan permainan yang menarik untuk disaksikan. Kecepatan pemain, umpan jauh, pemain tidak cengeng menjadi ciri khas liga tersebut. Terlebih lagi ketika Klub andalan di Liga lainnya merosot.

Namun yang utama, tidak adanya kedekatan emosional yang kuat dengan Klub seperti klub kebanggaan di daerah sendiri sangat mempengaruhi kejenuhan tersebut. Dan juga ketika hanya sekedar mengagumi karena keberadaan salah satu pemain idola di klub tersebut. Ketika pindah klub, maka akan sulit tergantikan dengan pemain yang baru direkrut, meskipun juga pemain bintang dan bahkan kualitasnya lebih bagus.

Dulu, skor pertandingan, posisi klasemen hingga peringkat ke-4 dapat dihafal termasuk perubahan setiap minggunya. Namun sekarang, khususnya Liga Inggris, yang diketahui hanya pemuncak klasemen. 

Terutama di tahun ini, tahun 2020, yang pemuncak klasemen nampak tidak terganggu dari awal, bahkan semakin lama tidak terkalahkan dan kokoh di posisinya. Kompetisi yang betul-betul membosankan.

Nah, apakah kalian juga merasakan yang sama, jenuh menonton liga favoritnya? Atau bahkan lebih bersemangat karena Klub andalannya selalu menang dan juara Liga akhir-akhir ini. Atau juga karena Anda betul-betul fans sejati dan penggemar bola yang tak peduli prestasi klub andalan. Senantiasa mendukung apapun hasilnya.

Kalau saya, Liga-liga Eropa tidak menarik lagi seperti dulu. Saya justru lebih tertarik menyimak transfer Liga 1 dan menunggu rekrutan baru klub beraksi di lapangan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun