Namun, Inggris dianggap tidak bertindak sesuai harapan dalam menjalankan mandat tersebut. Selanjutnya, para pemimpin Zionis berkumpul di hotel Biltmore New York pada tahun 1942 dan menetapkan secara Resmi Palestina sebagai wilayah Persemakmuran Yahudi. Akhirnya, pada tahun 1948, negara modern Israel resmi berdiri.
Ada sejumlah faktor terpilihnya Palestina (tepatnya wilayah Palestina bagian Timur) sebagai wilayah teritorial negara Israel, yaitu:
1) Fakta historis, secara kultural-teologis orang Yahudi di luar Palestina biasa datang ke daerah tersebut untuk melakukan ziarah ke Tanah Suci (Eretz Yisrael);
2) Berubahnya konsep “Holy Landa” menjadi “Homeland” yang didukung oleh narasi-narasi ‘ilmu pengetahuan yang terkendali’ dalam berbagai disiplin ilmu;
3) Konsep historis yang berbau mitos yang disusun Sir Martin Gilbert mampu meyakinkan masyarakat luas baik Yahudi maupun Non-Yahudi;
4) Sentimen anti-semitisme bangsa-bangsa Eropa yang meyakini bahwa bangsa Yahudi tidak dapat beritegrasi dengan bangsa Eropa;
5) Kerajaan Turki Ustmani memilih bersekutu dengan Jerman dalam perang dunia I (1914 -1918) untuk menghadapi perang melawan Inggris dan Perancis. Selanjutnya, sesuai isi perjanjian Damai Sevres pada tahun 10 Agustus 1920 antara Kerajaan Turki dengan Sekutu di ujung perang Dunia I, Palestina sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Turki Ustmani harus diserahkan kepada Inggis sebagai pihak yang menang perang;
6) Korespondensi Pimpinan Makkah Hussein bin Ali dengan Komisioner Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon (tahun 1914-1915) yang menghasilkan kerja sama bidang politik, termasuk masa depan politik Palestina.
Pada hakekatnya, mitos historis-teologis yang dibungkus dengan narasi ilmu pengetahuan sebagai dasar penetapan Palestina sebagai wilayah negara modern Israel adalah sebuah anomali yang ekstrim dalam koridor berpikir positivistik – suatu paradigma sebagai basis epistemologis sains modern yang notabenenya menolak mitos, ilusi, dan hal-hal berbau teologis.
Lebih ironi lagi, narasi ilmu pengetahuan yang dibangun tersebut menolak realita, fakta empiris atas keberadaan Palestina sebagai daerah yang berpenghuni, bukan tanah kosong tak bertuan sebagaimana dijelaskan dalam tesis-tesis teologis para penganut Zionisme.
Menurut sejarawan Yahudi Shlomo Sand dalam The Invention of the Land of Israel: From Holy Land to Homeland (2012), keyakinan Yerusalem sebagai tanah air bagi kaum Yahudi merupakan temuan modern – untuk tidak disebut temuan fiktif -- daripada sebuah tradisi yang ditampilkan kembali. Baginya, Yerusalem lebih bermakna sebagai tanah suci daripada tanah air.