Lailatul Qadr dalam keyakinan umat Islam dimaknai sebagai malam paling istimewa dalam perjalanan hidup manusia sebagai makhluk spritual. Dalam sistem keimanan Islam, ia merupakan salah satu doktrin kunci (the main doctrine) dalam ritualitas Puasa Ramadlan, sehingga seolah-olah totalitas ibadah seseorang di bulan suci tersebut menjadi tidak bermakna tanpa "bersua" dengannya. Alquran --sumber otoritatif utama Islam -- secara normatif menegaskan bahwa malam Qadr lebih baik dari seribu bulan (Q.S. Al-Qadr; 3).
Sejumlah Hadits Mutawatir -- Hadits dengan tingkat validitas tertinggi -- turut memperkaya penjelasan tentang hal yang sama yang bermuara pada satu pengertian bahwa tidak ada yang paling berharga dalam kehidupan seorang Muslim selain penyerahan diri secara total pada Sang Ilahi di malam indah dalam "penglihatan" penuh para malaikat, termasuk Jibril.
Bagi Muslim yang memiliki pemahaman yang benar dan utuh serta mengimani dengan sepenuh hati, doktrin tersebut diposisikan sebagai fase penting dalam menggapai makna hidup yang tertinggi. Untuk kepentingan itu, seluruh energi Ramadannya diarahkan pada maksimalisasi pencapaian fase itu. Dalam obsesinya, tidak ada detik yang dilalui dalam hidupnya kering dari nilai ritual dan sosial. Terbersit perasaan berdosa bilamana dirinya tak mampu meningkatkan kualitas diri dan lebih baik dari sebelumnya serta merasa cemas dan khawatir terhadap dosa dimaksud menjadi penghalang untuk menikmati malam suci.
Dari sekian banyak umat Islam yang berpuasa di bulan Mubarak ini, berapa jumlah Muslim yang memiliki pemahaman dan keimanan serta respon yang memadai terhadap doktrin Lailatul Qadr? Dan dari jumlah tersebut, berapa Muslim yang betul-betul berhasil melewatinya dengan sujud pada Dzat Yang Maha Kuasa? Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab secara kuantitatif. Namun, secara inderawi dapat terbaca secara general dari semangat qiyam al-lai (ibadah malam hari) mereka. Bila berkaca pada Ramadan sebelumnya, tidak banyak masjid yang dipenuhi oleh Muslim yang i'tikaf. Andai Ramadlan tahun ini kondusif seperti Ramadlan tahun sebelumnya, fenomena yang sama akan terulang kembali. Mengapa hal ini terjadi?
Â
Pendidikan  Lailatul Qadr  Â
Dalam perspektif pendidikan, rendahnya -- jika boleh disebut demikian -- pemahaman, keyakinan, dan respon sebagian umat Islam terhadap doktri Lailatul Qadr sebagai akibat belum maksimalkan pendidikan tentang doktrin tersebut. Sebagai doktrin kunci/inti (main doctrine) Â bagi semua ibadah selama puasa Ramadlan dan posisinya yang sangat istimewa dalam ajaran Islam sehingga harus disebut sebagai surat tersendiri dalam Al-Quran, ia tidak mendapat perhatian yang seharusnya dalam sistem Pendidikan Islam.
Tidak sebanding dengan posisinya dalam sistem keimanan dan ritualitas Islam yang begitu agung, doktrin Lailatur Qadr  --  sebagaimana tersaksikan selama ini -- hanya menjadi satu objek kajian "selayang pandang" para Pendakwah dalam durasi yang sangat terbatas, bahkan cenderung tidak fokus. Namun, tidak dipunkiri ada sejumlah pembicara yang mencoba fokus, meskipun di antara mereka ada yang terjebak dalam narasi-narasi tradisional yang justru mendapatkan respon yang kurang positif dari pendengarnya. Harus diakui bahwa tidak banyak pemikir Muslim yang mencoba mengkaji secara mendalam, apalagi terintegrasi dengan sains modren sehingga diperoleh memahaman yang lebih aktual dan menyegarkan secara intelektual.Â
Sebagai dampak pendidikan Lailatul Qadr di atas, tidak banyak ditemukan penguatan tradisi qiyam al-lail -- sebagai proses yang harus ditempuh untuk dapat bermunajat di malam Qadr -- dalam pendidikan keluarga, termasuk untuk anak-anak sebagaimana habituasi shalat wajib dan atau shalat tarawih. Ironinya, mereka tidak memandang sebagai hal yang naif atau hina jika bangun malam hanya untuk sahur atau buang air tanpa ada kemauan untuk shalat Tahajut atau Hajat misalnya.
Pendidikan Ideal Lailatul Qadr   Â
Mestinya, Lailatul Qadr ditempatkan sebagai materi pendidikan unggulan yang dikaji secara konprehensif dan utuh, mencakup berbagai perspektif. Wujud doktrin tersebut yang bersifat normatif, metafor dan didahului dengan redaksi yang dialogis -- sebagaimana tertulis dalam surat al-Qadr -- mengisyaratkan bahwa Lailatur Qadr dapat dipahami dengan benar bilamana dikaji secara akademik yang serius, sistematis, berkelanjutan, menyeluruh, dan mendalam  serta memenuhi prinsip-prinsip pendidikan dalam proses pengkajiannya.Â