Tetapi film yang digarap dengan maksud “memaksakan” opini publik seolah benar seperti sekuel film “Rambo” melawan Vietnam padahal untuk menutup malu Amerika Serikat (AS) akibat kalah perang 1973 adalah propaganda dan hoax. Amerika Serikat dikenal banyak membuat film propaganda dengan tujuan hoax-politis seperti film The Sum of All Fears (2001), film Argo (2012) atau film The Interview (2014) dan banyak lagi yang lain.
Hoax politik sering kali digunakan oleh rezim penguasa suatu Negara kepada masyarakat dan Negara lain. Dalam konteks Amerika, Presiden Goerge W. Bush 2003 menginvasi Irak dengan tuduhan kepemilikan senjata massal, tetapi setelah Saddam Husain jatuh tuduhan tersebut tidak terbukti, demikian juga dialami Moammar Khadafi di Libya.
Di Indonesia, hoax di produksi oleh rezim otoriter Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan, membangun kebencian massa dan menakut-nakuti rakyat. Film G-30S/PKI yang dibuat 1984 dan di sutradarai Arifin C. Noer menggambarkan adegan para Gerwani mengiris-iris dengan silet para jenderal revolusi yang diculik serta mencungkil mata, dibunuh dengan kejam lalu dibuang kedalam sumur di Lubang Buaya.
Adegan-adegan itu dibuat secara sadistis dan tidak manusiawi dengan tujuan membangun kebencian kepada Gerwani dan PKI. Demikian pula dengan film “Janur Kuning” atau dikenal dengan film serangan 1 Maret 1949 yang lebih menonjolkan ketokohan Soeharto dibandingkan dengan Jenderal Soedirman sebagai panglima TNI dan Sultan Hamengku Buwono IX yang merupakan pencetus serangan. Atau isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) sengaja dihembuskan agar bisa menerapkan pendekatan keamanan (security approach) untuk mempertahankan kekuasaanya.
Pola hoax politik digunakan dengan cara disinformasi yaitu melakukan dengan sengaja berupa penyesatan informasi kepada masyarakat agar dipercaya dan membenarkan tindakan-tindakan pemerintah atau rezim penguasa. Dis-informasi kerap digunakan pada era perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat untuk memengaruhi dan menguasai suatu Negara agar menjadi kekuatan satelit (Negara boneka) dari kedua Negara adi daya itu.
Kedepan, penggunaan internet dan medsos hendaknya digunakan sebagai sarana saling mengenal, belajar dan memahami perbedaan antar budaya, agama dan keyakinan politik. Medsos semestinya menjadi sarana perekat kuat kesatuan, kebhinekaan dan ke-Indonesian kita sesama anak bangsa ditengah gaya hidup baru di era digital “manusia gadget”.
Akhirnya, hoax yang merupakan penyebaran berita palsu atau bohong itu harus diwaspadai dan diteliti bagi pengguna medsos di internet baik datangnya dari kelompok masyarakat maupun dari rezim penguasa Negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H