Mohon tunggu...
Syamsuddin Juhran
Syamsuddin Juhran Mohon Tunggu... Oposisi Intelektual -

Ilustrasimu, Imajinasiku . . .

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Yayasan, Kendaraan Revolusi

7 November 2014   03:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:26 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikantidak pernah pudar dan surut untuk diperbincangkan serta didiskusikan diruang-ruang ilmiah ataupun non-ilmiah, bahkan menjadi bahan pergolakan di parlemen jalanan. Pendidikan menjadi hal central dalam masa pengembangan dan pembangunanPemerintahan dengan kultur,sosial dan lingkup tatanan Negara.

Bagi saya (penulis), pendidikan adalah alat beradaptasi dan bagian dari amunisi sejata untuk berperang melawan hegemoni dari negara-negara maju berpaham sistem ekonomi liberal. Dewasa ini ekspansi pelebaran sayap-sayap di dunia pendidikan berdegradasi menjadi lahan industrial, sehingga siapapun yang hidup di abad 21 ini mau tidak mau harus siap menghadapi narasi kompetitif dominasi Global (Pasar bebas). Kearifan lokal (budaya) Negara dan produk-produk suatu Negara diam-diam segera dipunahkan dengan produk komoditi seluruh dunia yang mampu bersaing dalam gaya Globalisasi-Neolib.

Melihat kapitalism global dengan dominasinya, maka sepatutnya Negara sudah melakukan proteksi serta resistensi, narasi besar kapitalisme global begitu memaikan peran secantik mungkin melalui teknologi informasi (media) untuk dikedalikan secara sitematis dalam menggiring issu (klaim dan moment) memutar balik paradigma berfirkir masyarakat dengan branding-branding yang mengiurkan hasrat (libido).

Produk komoditi bukan lagi dipandang berdasarkan nilai kegunaan melaikan nilai semiotik (tanda), terpenjara akan objek. Subjek (manusia) yang mempresepsi media informasi terpejara akan konsep mental dan secara mudah mengambil kesimpulan-kesimpulan tanpa mengunyah-unyah hasil dari presepsi indrawinya, akal hanya berperan sebagai alat/instrumental. Sederhananya, subjek menciptakan objek, namum objek mengendalikan subjek, menjadi pandangan dunia individu dan larut dalam narasi masyarakat konsumtif dan tidak kreatif.

Universitas-universitas pun, khususnya Indonesia yang memiliki tradisi melahirkan pemikir-pemikir yang memiliki indegenus (keaslian) kini tidak mampu bertahan, kita dapat lihat dari jurusan atau prodi, mata kuliah di adakan disuatu Universitas merupakan bagian dari agenda titipan korporasi-korporasi, ketika wisuda mahasiswa sudah dipersiapkan umtuk menjadi pekerja disalah satu korporasi tersebut. Atas dasar fenomena seperti ini, saya memandang bahwa tempat-tempat belajar formal hanya sebagai alat untuk mencetak orang orang memiliki keterampilan mengetuk pintu-pintu kapitalis.

Pendidikan formal tak ubahnya menjadikan kita seperti mesin, kerangka berfikir peserta didik dirusak dengan dogma kompetitif, individualism, dan hafalan-hafalan (mekanika). Bagi saya ini pula yang mematikan daya/potensi manusia yaitu berfikir kreatif dan kedewasaan dalam bertindak. Kebiasaan (budaya) menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan kita bodoh, akal di berdayakan layaknya mesin. Bukankahpendidikan bertujuaan sebagai pemberdayaan (bottom-up) manusia agar menjadi manusia seutuhnya dan kembali pada hakikat manusia.

Pemberitaan kriminalitas di persekolahaan sering kita mendengar bahkan menjumpainya, bukan saja peserta didik yang berulah namun sebagian praktisi/pendidik pun melakukan tindak abnormal ataupun anomali. Top-down, kesenjangan Guru dan murid bagaikan garis vertikal (atas-bawah) bisa dikatan ini juga salah satu pengaruh frame pemikiran barat (borjuis-ploretar). Bukankah guru/pendidik memiliki Fitrah yang sama dengan peserta didik/murid yaitu mahluk yang belajar.

Pendidikan dengan gaya kakuh, kini kehilangan spiritnya dalam membangun kerangka berfirikir peserta didi/warga belajar ataupun mahasiswa yang terkenal sebagai Agent of change, yang selalu meneriakkan kata revolusi.Lantas kendaraan apa yang bisa kita gunakan untuk mengisi amunisi yang telah lama kering dan krontang untuk mencapai Revolusi ?

Begitu banyak upaya dalam merevitalisasi pendidikan nonformal, semua menjadi usang, terkikis oleh waktu dan di ruang ruang ilmiah hanya menjadi tempat mengkristalnya perdebatan pada regulasi dan wacana anggaran. Implementasi pendidikan nonformal atau pendidikan luar sekolah dilingkup Nasional maupun regional, nampak bagaikan program formalitas, yang penting eksistensi PNF/PLS ada, seperti pembangunan rumah mewah di atas rawa yang setiap waktunya merosot hingga tak nampak dipermukaan.

Tidak bisa pungkiri jika ingin diselidiki lebih jauh, mengenai anggaran 20% pendidikan, pendidikan luar sekolah juga mendapatkan anggara untuk dana operasional, namun yang kita dapati pendidikan luar sekolah dengan Program program Life Skillnya sebelas-duabelas saja dengan pendidikan formal.

Pertam, begitu banyak lembaga lembaga pendidikan nonformal yang didaftarkan dan legal hanya mengincar dana-dana program atau bantuan sosial lainnya. salah satunya adalah menjamurnya yayasan-yayasan baru disetiap daerah. Kedua, yayasan-yayasan yang mengelola program kecakapan hidup hanya dipandang sebagi tempat sarana penunjang keterampilan (psikomotorik) dengan legalitas sertifikat dan uang pembinaan untuk menarik warga belajar ikut serta berpartisipatif. Ketiga, sistem pembelajaran selalu mengikuti emperisme pemberdayaan-pemberdayaan yang ada yaitu 70% Praktik, 30% teoritis, pertanyaan kemudian apakah kita tidak bisa menggunakan sistem balance (seimbang)?.

Perpindahan penduduk atau transmigrasi dari mulai A ke pulau B, lebih banyak pada perpindahan penduduk berusia dewasa. Perspektif saya, yang banyak merusak lingkup dan tantanan sosial adalah orang-orang dewasa. Ketika proses perpindahan kependudukan berlangsung, pemerintah/instansi yang terkait tidak memfilter orang-orang dewasa yang masuk ke suatu daerah baru dengan matriks keterampilan yang dapat menunjuang hidupnya dalam perpindahan penduduk, sehinga tidak menjadi pengangur-penganguran baru dan bukan lagi menjadi beban pemerintah/instansi dikota baru yang ia jajaki untuk meberikan pemberdayaan yang sifatnya formalitas dan membuang-buang anggaran.

Dari fenomena diatas, disinilah letak peran Yayasan sebagai kendaraan revolusi pendidikan yang mampu mengupayakan penyadaran-penyadaran dan peningkatan potensi/daya manusia, bukan hanya dipandang sebagai satu sekub yang mengkrucut pada pengembangan atitude-psikomotorik.

Proses penyadaran akan potensi/daya yang begitu dahsyat dimiliki oleh manusia ialah akal, bagaimana yayasan harus mampu mebuat kurikulum atau bahan ajar mengarah pada proses pembentukkan frame berfikir masyarkat/warga belajar agar berfikir kreatif dan dewasa dalam bertindak.

Bukan saja saya sebagai penulis, tetapi kita semua berharap yayasan tidak tertidur pulas dalam zona yang nyaman dengan anggaran-angaran, bantuan pendanaan lainnya dan tidak semata-mata membuat program kecakapan yang berfokus pada keterampilan (psikomotorik). Dengan tetap optimistis, saya yakin gerakan pendidikan dalam upaya membangun kecakapan hidup dapat kita raih melalui gerakan-gerakan yayasan sebagi media menuju revolusi pendidikan.

Salam,.

Syamsuddin (Mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah Unmul)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun