Memantaskan Diri Sebagai Pendidik yang Layak
Hakikat pendidikan adalah penanaman adab, akhlak, dan  karakter. Karena arti kata didik yang merupakan asal usul dari kata pendidikan adalah proses pemeliharaan, pelatihan, pengajaran, penuntunan, pemimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran, sebagaimana disebutkan dalam  Kamus Besar Bahasa Indonesia. Â
didik/di*dik/ v, mendidik/men*di*dik/ v memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran: seorang ibu wajib ~ anaknya baik-baik;
pendidikan/pen*di*dik*an/ n proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik;
Dari ulasan KBBI di atas saya menggaris bawahi dan mengurai menjadi beberapa kalimat
 ''memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak  dan kecerdasan pikiran"
"memelihara dan memberi ajaran mengenai akhlak dan . . ."
"memelihara dan memberi tuntunan mengenai akhlak dan . . ."
''memelihara dan membei pimpinan mengenai akhlak dan . . ."
Jadi sebetulnya inti dari pendidikan itu adalah penanaman akhlaq dan penumbuhan kecerdasn pikiran melalui proses pelatihan, pengajaran, tuntunan, dan pimpinan.
Jika pendidikan merupakan proses membangun akhlak dan tata laku, maka mendidk hanya layak diemban oleh mereka yang layak dan memiliki kualifikasi serta kompetensi. Penjelasan mengenai kompetensi pendidik sudah dirumuskan oleh para ahli dan undang-undang, yaitu; kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan komptensi sosial. Ada empat.
Tapi dari keempat kompetensi tersebut inti dan kompetensi utamanya adalah bahwa seorang pendidik itu layak untuk diikuti dan dicontohi oleh peserta didik. Ini juga sejalan dengan hakikat guru yang merupakan salah satu sebutan untuk pendidik.
Kata guru merupakan akronim dari ungkapan berbahasa Jawa digugu dan ditiru. Yang artinya orang yang diikuti dan ditiru. Untuk layak ditiru dan diikuti maka seorang guru atau pendidik harus benar-benar kompeten dan memiliki kualifikasi yang mumpuni.
Saking pentingnya kualifikasi dan kompetensi guru, dalam konsep pendidikan Islam ''memilih guru" merupakan bagian penting dari proses pendidikan. Imam Nawawi misalnya dalam karyanya ''Adab al-'Alim wal Muta'allim; Adab Pengajar dan Pelajar" dan ''At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur'an; Penjelasan tentang Adab Pengemban Al-Qur'an" menulis tentang adab pelajar dan pengajar.
Salah satu etika pelajar adalah memilih guru. Imam Nawawi mengatakan bahwa diantara adab pelajar adalah ''an la yata'allama illa 'inda man takammalat ahliyyatuhu''. Artinya tidak belajar melainkan pada guru yang sempurna kompetensinya. Intinya belajar pada guru yang kompeten. Atau jika dibawa ke konteks memilih lembaga pendidikan sebagai tempat belajar adalah hendaknya menjadikan kompetensi dan kualifikasi dari guru di lembaga tersebut sebagai pertimbangan utama.
Nah, jika pelajar disarankan untuk mencari guru yang kompeten, maka guru atau pendidik seharusnya memantaskan diri sebagai guru yang layak dan kompeten. Demikian pula pengelola dan penyelenggara pendidikan, seharusnya menyiapkan guru dan pendidik yang kompeten.
Jangan sampai pengelola dan penyelangara pendidikan hanya sibuk membenahi infrastruktur fisik, lalu mengabaikan kualitas dan kompetensi guru. Karena proses pendidikan dan pengajaran yang baik hanya dapat dilakukan oleh pendidik dan atau guru yang benar-benar kompeten dan memiliki kualifikasi yang mumpuni. Paling tidak kualifikasi seabagasi sosok yang layak digugu dan ditiru peserta didik dan masyarakat secara umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H