Demikian pula para pengamat, biasanya ketika memprediksi peluang menang suatu pasangan calon menjadikan faktor etnis sebagai instrumen. Calon yang berasal dari Pulau besar dan suku tertentu dengan jumlah penduduk dan pemilih terbanyak biasanya diunggulkan dan atau diprediksi akan  unggul. Berarti para pengamat itu menganggap masyarakat pemilih dari daerah tersebut akan memilih calon yang satu suku atau sedaerah dengan mereka. Artinya mengakui bahwa orang-orang itu akan memilih atas persamaan etnis dan suku.
Jadi, sebetulnya hampir tidak ada kontestan pemilu yang tidak memasuki wilayah kesamaan dan persamaan menduga kuat frasa politik identitas hanya akan jadi slogan dan jajanan untuk membersihkan diri dan menyerang pihak lain yang berbeda.
Oleh karena itu sebaiknya stop saling tuding memainkan praktik politik identitas. Karena jangan sampai seperti maling  teriak maling. Nunjuk orang lain sebagai pelaku politik identitas, sementara dia sendiri juga mempolitisir identitas lainnya untuk kepentingan elektoral. Atau serahkan sepenuhnya kepada penyelenggara dan pengawas. Kalau saling tuding, nantinya seperti sepakbola tarkam yang berlangsung tanpa wasit. Setiap ada yang handsball, offside, dan atau pelanngaran lainnya saling sorak.
Atau hilangakan istilah politik identitas, atau hilangkan citra negatif politik identitas. Kalau ada hal-hal melanggar aturan karena sebab identitas tertentu biaralah diatur oleh pasal lain dalam Pemilu. Atau jangan sampai ini masuk kategori, Peraturan dibuat untuk dilanggar?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H