''Faradha Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam zakatal fithr[i] thuhtarat[an] lis Shaim minal Laghw[i] war rafats[i] wa thu'matan lil masakin".
Zakat fitrah merupakan kewajiban setiap Muslim yang mampu di akhir bulan Ramadan. Dalam Kamus Besa Bahasa Indonesia (KBBI) fitrah zakat didefinisikan sebagai zakat yang wajib diberikan oleh setiap orang Islam setahun sekali (pada Idulfitri) berupa makanan pokok sehari-hari (beras, jagung, dan sebagainya).
Dalam bahasa fikih islam digunakan kata zakatul fithr[i] dan shadaqatul fithr[i]. Dinamakan zakat fitri karena kewajiban menuanaikannya berkaitan dengan idul fitri. Bahkan dalam situs islam.nu.or.id  kata zakat fitrah dianggap kurang tepat salah kaprah. Karena menyalahi istilah yang dipakai dalam hadis, "Faradha Rasulullah[i] shallallahu 'alaihi wa sallam zakatal fithr[i], Rasulullah mewajibkan zakat fitri".
Arti kata fithr[i] dalam hadis di atas adalah makanan. Karena zakatul fithr[i] memang zakat berupa makanan pokok. Kata fitri pada hadis zakatul fithr[i] juga semakna dengan kata fitri dalam idul fitri. Ied artinya kembali. Sedangkan fithr artinya berbuka atau makan.
Namun dalam proses penerjemahan dan atau penyerapan ke dalam bahasa Indonesia menggunakan kata fitrah menjadi lebih zakat fitrah. Mungkin merujuk kepada salah satu hikmah zakatul fithr[i], yakni sebagai pembersih dan penyuci puasa dari kata-kata kotor dan sia-sia.
Hukum dan Hikmah  Zakat Fitrah
Zakat fitrah hukumnya wajib bagi setiap Muslim berdasarkan beberpa hadis Nabi diantaranya hadis Ibnu Abbaas radhiyallahu 'anhuma;
''Faradha Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam zakatal fithr[i] thuhtarat[an] lis Shaim minal Laghw[i] war rafats[i] wa thu'matan lil masakin".
 "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam memfardhu (wajib) kan Zakat Fithri sebagai penyuci orang-orang puasa dari laghw dan rafts serta makanan[1] bagi orang-orang miskin". (terj. HR. Abu Daud dan Ibn Majah).
Â
Dari hadis di atas jelas bahwa zakat fitrah mengandung dua hikmah, yaitu hikmah  bagi muzakki (penunai zakat) dan penerima (mustahiq). Bagi penunainya zakat merupakan pembersih dan penyuci seseorang yang berpuasa dari hal-hal yang menodai puasanya, baik berupa Laghw (omong kosong) maupun rafats[2] (perkataan kotor), sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma;
 "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam memfardhu (wajib) kan Zakat Fithri sebagai penyuci orang-orang puasa dari laghw dan rafts serta makanan[3] bagi orang-orang miskin". (terj. HR. Abu Daud dan Ibn Majah).
 Rafats adalah perkataan dan atau perbuatan tidak senonoh yang harus dihindari saat berpuasa. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Puasa itu perisai, oleh karena itu jika salah seorang diantara kalian sedang puasa janganlah dia berbuat rafats". Rafats dapat mengurangi bahkan menggugurkan pahala puasa.  Namun jika sampai terjatuh ke dalam rafats dan perbuatan buruk serta sia-saia lainnya maka dapat dibersihkan dengan zakat fitrah.
 Sementara bagi penerimanya zakat mengadung hikmah memberi kecukupan makanan dan keperluan lainnya bagi orang-orang miskin. Sehingga dapat turut berbahagia pada hari raya idul fitri, karena kebutuhan mereka tercukupi dan terpenuhi. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam mewajibkannya sebagai  makanan bagi orang-orang miskin". (terj. HR. Abu Daud dan Ibn Majah).
Â
Dalam hadis lain berliau juga bersabda;
Â
 "Berilah kecukupan kepada mereka sehingga tidak meminta-minta pada hari 'ied". ( HR. Baihaqiy).
Jadi hikmah zakat fitrah bagi pelakunya sebagai pembersih puasa dari noda rafats dan laghw. Sedangkan bagi penerimanya sebagai bantuan makanan dan atau untuk mencukupi kebutuhan primer lainnya.
Â
Jika melihat teks hadis ini jelas bahwa zakat fitrah dibayarkan dalam bentuk makanan karena tujuannnya untuk memberi makan orang-orang miskin. Tapi jika melihat kebutuhan, maka sesungguhnya yang dibutuhkan buka  hanya makanan. Sehingga ini menjadi alternatif jika ada yang membayarkan berupa uang tunai. Lagipula hadis riwayat Baihaqi menganjurkan untuk memberi kecukupan agar menghindarkan orang miskin dari meminta-minta pada hari ied. Dan memberi kecukupan sebetulnya tidak hanya berupa makanan tapi berupa uang. Karena beras masih butuh diolah jadi nasi, ketupat, lontong. Nanti butuh gas, butuh lauk pauk, dan seterusanya. []
Catatn: Tulisan serupa sebelumnya dipublish di berdaulat.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H