Perempuan Cina Itu Membuatku Bahagia Sekaligus Terluka (I)
“Kita berdua bagaikan dua ekor burung. Engkau ibarat burung laut yang datang dari ufuk jauh dan hinggap di sarangku, membawa nyanyian serta cerita tentang keindahan untuk menghibur hati yang sunyi. Sedangkan aku ibarat burung pungguk yang kesepian merindukan bulan di langit tinggi.
Ketika engkau kuundang ke sarangku, kurasa gairah dan kehangatan mengalir dari dekapan kedua sayapmu. Aku sempat mengungkapkan cinta, lalu engkau kembali terbang menempuh keluasan laut, menyeberangi cakrawala mencapai pantai berpasirkan emas, daratan tempatmu dengan bebas mengepakkan sayap. Sedangkan aku tetap sebagai punggukdi sarangku, merindukan bulan dari malam ke malam, menanti dirimu dari bulan ke bulan.”
Entah dari mana aku pernah mendengar rangkaian kata itu. Entah siapa yang telah mengucapkan kalimat-kalimat yang demikian tepat untuk menggambarkan rintihan jiwaku. Yang jelas, memang seperti itulah suara keprihatinan dan jerit tangis yang kudengar dari sudut terdalam lubuk hatiku. Kuhayati tetes kepedihan dari sayatan perasaan yang tertakik. Maka kutuliskan kisah ini dengan tinta airmata.
Melalui paparanku ini, kuangkat sepercik derita batin dari lautan maha dahsyat yang terkumpul dari tangisan-tangisan relung kalbuku nun jauh di sepi malam, dari jerit iba permintaan tolongku yang tak terdengar, dari ratap pedih hatiku yang menatap masa lalu dengan suram, itulah masalaluku bersamanya, seorang wanita yang pernah kusayangi, seorang wanita yang pernah meluruhkan tebing-tebing cintaku, seorang wanita yang pernah menyita segenap kerinduanku dan juga seorang wanita yang telah dengan teganya menyakiti aku, meskipun semua itu hanya tinggal sebagai saksi abadi dalam ukiran yang bernama kenangan.
Apakah gunanya semua ini? Aku tidak tahu. Sekali lagi aku tidak tahu. Yang kutahu hanyalah tangisan di hatiku. Kepedihan ini terasa tambah menyakitkan di saat kembali kututurkan kisah ini. Meskipun banyak yang menbaca dan juga banyak yang tak pernah melewatkan kisah-kisah serupa di laman ini, namun aku tidak tahu apakah ada yang peduli, apakah ada yang merasa iba atau malah hanya merasa senang dengan semua kesedihan itu. Aku tidak tahu. Yang kutahu, penderitaan itu semakin tak tertahankan, bersebab dengan terpancingnya rasa dukaku mengingat saat terwujudnya bayangan ketakutan dalam diri, yakni aku takut kehilangan dia.
Kuawali cerita ini dari satu pertemuan yang membuat kami saling kenal. Saat dia diajak temannya ke tempatku. Saat kuterpana memandangnya dalam kekaguman. Sehingga aku tak sanggup lagi untuk menjawab tanya yang hadir dalam batin : kenapa kami bisa berjumpa?
Bagiku keelokan rautnya telah melahirkan pesona yang membuatku kehilangan kemampuan untuk ciptakan perumpamaan. Entah bagaikan apa bisa kugambarkan tentang dia, sosok yang ada di hadapanku saat itu. Hanya saja, kalau ada orang yang mengatakan dia tidak cantik, hanyalah orang-orang yang tak akan pernah tahu dan mengerti makna dari satu kecantikan.
Bukannya aku condong kepada rupa, dan terpaut pada muka. Dan aku tidak pernah terjerembab dalam wujud jasmani yang menggiurkan. Tetapi kecantikan yang dia hadirkan memang satu keagungan ciptaan yang sempurna. Kurasa tak ada salahnya aku mengaguminya. Sebab, bukankah takjub pada kesempurnaan suatu ciptaan merupakan bagian dari tasbih?
Memang kecantikan merupakan pembicaraan yang tak pernah berakhir, seperti nyanyian danau yang memanggil-manggil anak-anak sungai dari kedalamannya. Hanya jiwa-jiwa yang hidup dan tumbuh yang mau mengerti akan kecantikan. Kecantikan merupakan sensasi bagi mata yang memandangnya, yang kadang-kadang membingungkan pikiran kita dan tak bisa diuraikan dengan kata-kata. Kecantikan merupakan suatu sinar yang keluar dari roh-roh suci yang menerangi hidup dan kehidupan dalam mewarnai dan menganugerahkan keharuman pada sekuntum bunga.
Apakah jiwaku dan jiwanya telah saling menyentuh ketika pertama kali kami berjumpa? Sehingga kerinduan itu yang membuat diriku melihat dia bagaikan wanita tercantik di jagat ini? Ataukah aku sedang mabuk oleh anggur kehidupan yang membuatku menghayalkan sesuatu yang tak pernah ada?
Aku belum bisa menyimpulkan apa-apa dari semua itu. Karena segalanya berjalan dalam satu suasana yang serba kebetulan. Bagaikan aku mengejar sekelebatan bayangan di kegelapan, meskipun kumiliki keinginan untuk menangkapnya, namun tak ada kepastian yang menyertainya. (bersambung)
Audio of Si Pungguk dan Burung Laut
Sesudahnya :
DUA : Hadiah Sang Penyair
Kisah lain yang layak dibaca : Kala Sirnanya Sebuah Harapan Serajut Kenangan yang Terjawab (1) Serajut Kenangan yang Terjawab (2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H