Mohon tunggu...
Syamsir Pohan
Syamsir Pohan Mohon Tunggu... -

Saya laki-laki tinggal di Medan. Konsern ilmu Kimia di FMIPA Universitas Sumatera Utara. Minat dan aktifitas sehari-hari berwira usaha. Sekarang aktif di HMI Sumatera Utara (Badko HMI Sumut) sebagai ketua umum. Hobi menulis artikel di media lokal Sumut.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada, Uang, Ruling Elite dan Bos Politik

5 Mei 2010   20:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:23 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Benarkah politik itu mahal? Menurut M. Alfan Alfian, mahal atau tidak itu tergantung dari mana kita memandangnya. Namun, jika diukur dari jumlah uang yang harus dikeluarkan, kita harus akui bahwa ongkos praktik politik di Indonsia memang tinggi, lebih-lebih untuk komponen tak resminya. Meskipun tak ada yang mau menyebut besarannya, ongkos pendekatan dan “ijab-kabul” seorang calon kepala daerah dengan partai politik pasti tinggi.

Partai-partai kita masih cenderung memposisikan diri sebagai “kendaraan” untuk calon bermodal besar. Sebaliknya, yang bermodal cekak, silakan minggir. Biaya itu belum termasuk ongkos sosialisasi politik dan kampanye, apalagi kalau sang kandidat “rela” melakukan money politic atau politik uang.
Istilah “alat yang lazim ditempuh untuk memenangkan suara” dalam perkembangannya mengalami penafsiran yang berbeda-beda dan menimbulkan perdebatan yang tajam. Namun, orang kemudian membedakan antara yang legal dan tidak legal. Yang legal atau yang termasuk dalam kategori financial politics adalah biaya atau ongkos yang tercatat dan dapat diaudit. Sedangkan yang haram alias tidak legal adalah yang tersembunyi dari audit atau melanggar ketentuan, dan ini termasuk dalam kategori money politics.

BOSISME POLITIK

Kapital atau modal tampak saling berkaitan. Dalam pilkada, pemenang sebenarnya adalah pemilik modal? Pertanyaan ini selalu mencuat di kalangan masyarakat. Memang demokrasi kita kerap memunculkan anekdot getir. Misalnya, dikatakan bahwa pemenang pilkada kabupaten atau kota A sebenarnya bukanlah pasangan X-Y, melainkan bandarnya. Atau, istilah halusnya pemodal atau investor. Sebagian lagi menyebut pemodal atau investor tersebut dengan istilah kerennya“don”, mungkin singkatan dari donator.

Pada kenyataannya, bandar sangat lihai bermain di segala lini dengan memodali semua kandidat yang berpeluang menang. Itulah sebabnya mengapa hampir seluruh kandidat pilkada di kabupaten atau kota A tidak mempersoalkan kasus kontroversial yang merugikan rakyat. Dan itulah sebabnya mengapa para kandidat bisa berlomba membagi “fasilitas” ke simpul-simpul strategis bak sinterklas. Fenomena ini mengingatkan kita pada wacana tentang bosisme politik (political bossism).

Bosisme politik menurut Fred J. Cook dalam bukunya American Political Bosses and Machines, diartikan sebagai sebuah sistem politik yang menempatkan sosok tunggal yang dengan kekuatan penuh mengontrol jalannya politik. Si bos membawahi organisasi yang kompleks serta memadukan kepentingan ekonomi dan politik sekaligus. Di Amerika, bosisme menjadi isu politik penting pada sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dan di Sumatera Utara, fenomena bosisme politik sepertinya sudah mulai terasa dan bahkan mencuat. Siapa pelakunya? Kita tidak tahu persis. Seperti lagu satu kuis di acara televisi kita dulu; “o’o siapa dia?”. Tebakan kita boleh jadi cenderung seragam mengarah kepada satu atau mungkin beberapa kelompok yang punya kepentingan di beberapa pilkada di kabupaten/kota di Sumut.

Di ranah ekonomi, si bos banyak memiliki usaha, serta lincah mengembangkan modal dan menyiasati sistem, baik secara legal-etis maupun secara nakal. Sang kapitalis selalu eksis di tengah cuaca politik apapun karena punya saham di kekuasaan. Dengan kekuatan modal dan jejaring yang kuat di segala lini serta dengan teknik canggih tertentu, si bos bisa mendiktekan kemauan politiknya kepada kandidat, bahkan mengatur perilaku pemilih.

Memodali politik itu kan boleh-boleh saja? Memang tidak salah, tapi mestinya etis, taat aturan, dan sewajarnya saja. Yang dimodali wajib menegakkan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Persaingan politik harus wajar dan etis pula. Soal etis dan taat aturan memang normatif. Padahal, kultur kita masih sering salah kaprah: kalau aturan masih bisa dilanggar, mengapa harus ditaati. Nah, lho?

Yang harus kita lakukan adalah memperbaiki sistem, meningkatkan kualitas kesadaran masyarakat dan tanggung jawab nyata para aktor serta partai politik. Euforia politik masih terasa sekali, di mana ”kemaruk kekuasaan” lebih mengemuka ketimbang berpolitik untuk mengabdi.

PENUTUP

Pemilihan kepala daerah di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara yang sebentar lagi digelar tentu tidak hanya merupakan rutinitas demokrasi. Di sana dipertaruhkan harapan rakyat yang merindukan perubahan dan perbaikan. Di sana dipertaruhkan arah pembangunan daerah selama lima tahun ke depan. Meski sudah banyak rakyat yang apatis dengan pergantian dan pemilihan kepala daerah, namun tidak sedikit yang optimis dan berharap akan lahir pemimpin yang jujur dan adil.
Untuk menjawab harapan rakyat, ruling elite harus melepaskan kepentingan politik maupun kepentingan bisnisnya. Mari sama-sama mengedepankan norma-norma politik. Mari sama-sama mengusung perubahan dan perbaikan. Kehausan akan jabatan sama seperti meneguk air laut, semakin diteguk semakin haus pula. Jabatan kepala daerah memang jabatan prestisius, tapi jangan diraih dengan menghalalkan segala cara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun