Mohon tunggu...
Sinar Saja
Sinar Saja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sinar namaku. Lagi belajar menulis :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Suatu Sore (Episode Cinta Rangkat #59)

4 Januari 2011   17:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:57 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_81637" align="alignright" width="300" caption="Suatu Sore"][/caption] Sore sepulang  belajar ngaji di musholla Sinar mampir di pos ronda tempat Om Hans mangkal. Tapi kali ini Om Hans belum keliatan batang hidungnya.  Padahal kemarin, ia sudah janji mo ngajarin Sinar trik 1001 macam langkah mengacau perdana mentri dan skak math raja lawan. “Kira-kira kemana ya?” Pikir Sinar sembari duduk di bale-bale pos roda. Tungkai kaki-kakinya yang masih pendek belum  kesampaian menyentuh tanah sehingga  dengan leluasa  ia dapat mengayun-ayunkannya maju mundur, mengipas angin di sore itu. “Sinar, kamu lagi ngapain sendirian di sini?” tanya sang Penyair Lala tiba-tiba datang mendekat ke arah pos ronda tempatku duduk. “Aduh, tanpa suara berisik Om Lala kok tiba-tiba bisa nongol ya? Sinar  kaget neh!” kataku sambil memperbaiki posisi letak duduk dan menghentikan gerakan ayunan maju mundur kaki-kaki kecilku yang sedari tadi asyik aku gerakkan. “Jawab dulu dong pertanyaanku, kamu anak kecil kenapa duduk sendirian di pos kamling ini?” Di balik kaca mata hitamnya yang selalu bertengger di batang hidungnya yang lumayan mancung, Om Lala tampak melototkan matanya yang udah gede bulat dari sononya dan sedikit sangar meski tampa di pelototkan sudah membuat keder nyali Sinar. “Duh, takutttt, euy,” bathin Sinar. “Sinar lagi nyaaari Om Hans!” kepala Sinar tertunduk sembari menjawab pertanyaan Om Lala. Semoga Sinar gak ngompol neh, hiks. Sinar punya kebiasaan buruk, kalo ketakutan atau panik, Sinar gak bisa nahan diri, dan pasti deh ngompol dengan sendirinya, tanpa bisa terhankan lagi. “Buat apa nyari Om Hans?” Suara Om Lala masih ditinggikan seperti semula, sembari duduk di samping Sinar. Sinar menggerakkan pantatnya, bergeser sedikit menepi ke dinding pinggiran kayu pos ronda tersebut. “Om Lala..jajjjjangan galak-galak gitu dong! Sinar jadddii  takut nehhh!”  Suara gagap Sinar muncul karenanya. “Sinar mau minta diajarin main catur ama Om Hans. Kemarin dia udah janji mo ngajarin Sinar sore ini sepulang dari belajar ngaji.” “Oh, gitu. Sudah, belajar ama saya saja. Om juga jago kok main catur !” Kata Om Lala sembari menarik kotak catur yang sedari tadi memang tergeletak dipojok pos ronda tersebut. “Om Lala ini juga mantan juara catur tingkat SD, sewaktu sekolah dulu, loh! Banyak yang sudah Om Lala kalahkan, termasuk para guru di SD dulu!” Kata Om Lala sambil menyusun bidak  tersebut di atas papan catur. “Apa Om Lala pernah mengalahkan Om Hans, juga?” Kali ini Sinar sudah berani menatap mata Om Lala. Sebenarnya bila diperhatikan dengan lebih teliti di balik kaca mata hitamnya, mata Om Lala tidak menakutkan, kok. Matanya memang bulat penuh dan sedikit menonjol keluar, tetapi didukung oleh bulu mata panjang dan lentik, serta alis mata tebal, membuat bola-bola matanya tampak lucu dan menarik bila menatap seseorang. “Wah, tentu saja, Om pernah ngalahin Hans!” “Oh, ya… Om Lala jago dong. Tapiii….., belum sempat Sinar menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba terdengar suara nyaring Om Hans dari kejahuan. Tampaknya ia sangat girang. “Terdengar syair lagu kawin…kawin.. minggu depan aku kawinn…kawinnn…” dari suara bassnya yang sebenarnya tidak terlalu merdu juga sih. “Om Hans, kemana aja, saya tungguin dari tadi loh!” “Hahaha… maaf ya, Sinar, Om Hans tadi ada urusan penting, jadi telat datang ke pos ronda!” “Kayaknya, lagi heppy banget, emang mo nikah beneran?” Kata Om Lala penuh selidik. “Iya, bulan depan aku jadi melamar Jeng Pemi, hehehe. Aku jadi mo kawin, pren,” tepukan jari Om Hans di punggung Om Lala mengagetkan si empunya punggung. “Duh, jangan kencang-kencang dong klo nepuk, sakit neh!” Seru Om Lala sambil mengelus-elus daerah bekas tepukan di punggunya. “Sorry pren..sorry… gak sengaja, saya cuman lagi kegirangan, aja neh!” Balas Om Hans sambil mengatupkan ke dua tangannya tanda memohon permintaan maaf dari Om Lala. “Om Hans mo nikah, ya?” Wah, asyik, senangnya,  Sinar mo ikutan jadi pengiring pendampingnya, boleh gak?” Sinar mo duduk temanin Om Hans  di atas panggung pesta nanti. Boleh ya..boleh ya…! Please…!” “Oke, kamu akan menjadi pendamping anak kecil di pesta pernikahanku. “Horeeee… Sinar akan jadi pendamping Om Hans!” Sinar mengacung-acungkan kedua tangannya sembari berlompat-lompatan di dalam pos ronda. “Sudah.. gak usah terlalu ribut, sakit telingaku mendengar kau berteriak-teriak begitu, Sinar!” Kata Om Lala sambil merapikan bidak caturnya. “Jadi belajar catur, gak neh?” “Ah, dah sore banget, Om Lala, gak usah sore ini, besok aja!” Sinar mo pulang mandi, takut ntar di marahin mommy lagi kalo terlambat…. Hiks…  Gak, kebayang ntar Desa Rangkat bakalan banyak dihiasi janur kuning tahun ini, sebab akan banyak pemuda-pemudi yang akan melepas masa lajangnya. “Bu guru Uleng ama Om Petani, Jeng Pemi ama Om Hans, truss…Om Lala sama siapa ya?” Sinar berpikir-pikir sambil menatap kaca mata gelap Om Lala. “Om Lala ama Tante Deasy, itu loh gadis jutex tantenya Si Uleng. Tapi nanti setelah pernikahan Uleng – Paman Petani, baru Om Lala nyusul!” “Horee… Sinar bakalan jadi pengiring  pengantinan Om Lala, juga ya?” Tanya Sinar sambil berlari menjahui Pos Ronda. Sore menjelang maghrib itu, Desa Rangkat masih diselimuti Sutra Jingga Lembayung, sunggu tenang dan hangat. Sehangat hati para pemuda-pemudi Desa Rangkat menyambut tahun baru dan rencana bahagia tersebut. Sayup-sayup terdengar nyanyian sendu “Sang Penyair Gila”, apakah dia tidak turut berbahagia dengan rencana itu ya?” Tak tahulah, tapi kayaknya nampak nyata dari lagu yang ia dendangkan di pinggiran sungai Desa Rangkat sore ini. Hanya dirinya yang bisa mengartikan makna dari lagu itu . “Lembayung sutra di ufuk mulai bercahaya” Hati ku pun ingin bertanya, bila engkau tiba jangan hanya berita Datanglah dengan cinta. Beribu kali bumi mengedari mentari, arah pun tiada berhenti Betapa abadi bagai cintaku ini setia dalam cinta. Engkau berjanji, kau berjanji sampai kini Aku menanti, ku menanti kau kembali, Jangan lagi kau kecewakan hati ini Biar seribu tahun, memutih rambutku, Hatiku tetap selembut salju.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun