Mohon tunggu...
Syamril Al Bugisyi
Syamril Al Bugisyi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

aktivis sosial, pendidikan, keagamaan dan pengembangan SDM di Kalla Group Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pembentukan Karakter Jujur

23 Juni 2015   15:53 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:39 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Puasa dan Pembentukan Karakter Jujur

 

The Nightmare of Losing

 

You lose your wealth, you lose nothing

You lose your health, you lose something

You lose your character, you lose everything

(AD Pirous)

 

Puisi di atas berjudul “mimpi buruk kehilangan” yang ditulis oleh seorang dosen Seni Rupa dari ITB. Jika diterjemahkan bebas :

“Engkau kehilangan kekayaanmu, engkau tidak kehilangan apa-apa. Engkau kehilangan kesehatanmu, engkau kehilangan sesuatu. Engkau kehilangan karaktermu, engkau kehilangan segalanya”.

Sering kita berbeda dengan AD Pirous dalam menyikapi kehilangan. Sangat sedih jika kehilangan kekayaan atau pendapatan. Padahal kekayaan masih bisa dicari di lain waktu. Sedikit berbeda jika mulai kehilangan kesehatan, karena mulai banyak hal yang tidak bisa dilakukan, namun masih bisa berbuat sesuatu. Sangat berbahaya jika kehilangan karakter khususnya kejujuran karena itu artinya sudah kehilangan segalanya.

Pepatah Bugis mengatakan : “Apa perbedaan binatang dengan manusia? Kalau binatang yang bisa dipegang yaitu ekornya. Kalau manusia yang bisa dipegang adalah kata-katanya”. Jadi orang yang kehilangan kejujuran maka tak ada lagi yang bisa dipegang dari dirinya. Dia sudah lebih rendah dari binatang. Begitu pentingnya kejujuran sehingga menentukan derajat seseorang di mata manusia.

Kejujuran adalah nilai universal, berlaku bukan hanya di dunia putih bahkan juga di dunia hitam seperti di kalangan geng perampok. Mereka memegang kejujuran di antara mereka. Seseorang menjadi dekat dengan pimpinan bukan hanya karena jago berkelahi tapi juga karena dapat dipercaya / jujur. Apalagi di dunia putih seperti pengelolaan negara dan perusahaan. Pemegang saham akan mengangkat direktur bukan hanya karena kompetensi tapi juga karena kejujuran. Demikian pula direksi mengangkat manajer, kepala cabang, kabag, staff dan lainnya karena melihat kompetensi dan integritas. Jika kejujuran telah hilang maka kehancuran perusahaan bahkan tinggal menunggu waktu saja.

Ajaran Islam sangat menekankan pentingnya kejujuran. Allah berfirman :

“……. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (Q.S. An Nisa : 9)

Rasululullah pun mengingatkan :

“Tidak ada akhlak yang paling dibenci Rasulullah saw lebih dari bohong. Apabila beliau melihat seseorang bohong dari segi apa saja, maka orang itu tidak keluar dari perasaan hati Rasulullah Saw, sehingga beliau tahu bahwa orang itu telah bertaubat” (H.R. Ahmad)

Bagaimana puasa mendidik kita menjadi manusia yang jujur? Kejujuran itu sangat rahasia dan yang bisa mengetahui hanya diri sendiri dan Allah. Bisa saja kita berkata bohong dan orang lain percaya. Tapi hati nurani kita tahu kalau itu tidak benar. Jadi jujur yang paling utama adalah jujur pada diri sendiri karena aktifnya hati nurani. Selama bulan Ramadhan, kita melakukan puasa yang merupakan ibadah rahasia. Bisa saja di depan orang lain kita berpuasa tapi saat sendirian di tempat sepi kita makan dan minum. Tapi itu tidak kita lakukan karena kita tidak ingin membohongi diri kita sendiri.

Itu juga tidak kita lakukan karena kita yakin Allah Maha Melihat. Jadi puasa melatih kejujuran. Jika ini bisa dilakukan maka puasa akan menghasilkan orang yang jujur. Setelah selesai puasa, diharapkan menjadi karakter yang sudah menjadi kebiasaan baru, selalu jujur dalam kondisi apapun.

Kebiasaan baik yang menjadi karakter, tidak akan bisa terwujud jika hanya karena dorongan kewajiban belaka. Akhlak yang baik akan kokoh tumbuh pada diri jika didasarkan pada kesadaran yang dibangun oleh iman dan ilmu. Iman berarti keyakinan yang kokoh khususnya pada Allah dan Hari Akhir. Bukan hanya keyakinan bahwa Allah itu Ada tapi juga Allah Maha Melihat, Menyaksikan apa diperbuat oleh manusia. Lalu semua amal perbuatan yang dilakukan di dunia kelak di Hari Akhir akan dipertanggungjawabkan di Majelis Akhirat. Ini akan membuatnya berhati hati menjalani kehidupan ini dan berusaha untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Itulah manusia TAQWA.

Selamat berlatih, semoga puasa membuat kita menjadi lebih baik.

Makassar, 22 Juni 2015

 

Syamril

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun