Mohon tunggu...
Syamril Al Bugisyi
Syamril Al Bugisyi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

aktivis sosial, pendidikan, keagamaan dan pengembangan SDM di Kalla Group Makassar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ramadhan : Ritual atau Spiritual?

7 Juli 2014   20:53 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:08 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ada sebuah video pendek yang memperlihatkan bagaimana robot shalat witir 1 rakaat. Video ini saya pernah perlihatkan ke anak saya dan menyisipkan pesan “robot saja bisa shalat, jangan kalah sama robot”. Alhamdulillah itu berdampak kepada anak saya. Dia jadi rajin shalat, malahan terkadang kalau dengar adzan sudah langsung ke musholla dekat rumah yang selalu ramai, apalagi di bulan Ramadhan.

Bulan Ramadhan memang selalu memberi nuansa yang berbeda. Semangat umat Islam berpuasa, shalat berjama’ah khususnya tarawih sangat tinggi. Masjid penuh terutama pada 10 hari pertama. Hal yang patut direnungi adalah apakah semangat melaksanakan ibadah ritual tersebut berdampak pada pembentukan karakter masyarakat menjadi lebih baik? Setelah bulan ramadhan apakah tingkat kejahatan menurun drastis? Apakah tingkat korupsi mengecil? Apakah kejujuran menjadi kebiasaan? Ternyata kejahatan tetap tinggi. Korupsi jalan terus dan kejujuran jadi barang langka. Apa yang salah dengan ibadah ritual yang dijalankan? Kenapa tidak berdampak pada perbaikan karakter?

Sering kita dengar bagaimana orang Jepang yang jujur, disiplin, tingkat korupsi sangat rendah padahal tidak menjalankan ritual agama dengan baik seperti orang Indonesia. Mengapa mereka bisa demikian? Apakah berarti agama tidak dibutuhkan untuk membangun karakter manusia? Atau ada yang salah dalam hal keberagamaan kita?

Jika melihat sejarah Islam di masa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin maka telah terbukti Islam mampu mengubah keadaan masyarakat dari tidak beradab menjadi beradab. Kejujuran menjadi kebiasaan sehingga di masa itu seorang penggembala kambing tidak berani menjual kambing tuannya meskipun tidak akan ketahuan karena sang gembala yakin bahwa Allah Maha Tahu. Lalu seorang anak yang tidak mau memenuhi perintah Ibunya untuk mencampurkan air pada susu jualannya dengan argumen “Bukankah itu dilarang oleh Khalifah Umar bin Khattab?” Saat ibunya memaksa dengan mengatakan “Kan Umar tidak tahu?” Jawaban anaknya “tapi Tuhannya Umar tahu”.

Bagaimana dengan umat Islam di masa sekarang? Rasanya masih jauh dari harapan. Mengapa? Kita terjebak pada agama sebagai ritual bukan spiritual. Maksudnya ajaran agama lebih dipandang sebagai ibadah ritual rutin seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Saat sudah menjalankan itu semua, menganggap sudah menjadi orang yang saleh dan dapat masuk surga. Padahal setiap ibadah ritual yang dijalankan pasti ada hikmah, pelajaran dan spirit di dalamnya. Jika itu semua dapat digali maka ibadah akan mengalami transformasi dari ritual menjadi spiritual.

Mari kita coba gali spirit apa yang terkandung pada ibadah ritual yang kita jalankan di bulan Ramadhan ini. Tujuan ibadah puasa untuk meraih takwa sebagaimana firman Allah :

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Q.S. Al Baqarah : 183)

Saya ingin membedah taqwa dari empat huruf (ta, qaf, wau dan alif) dan dikembangkan jadi empat kata yaitu Tawadhu (rendah hati), Qana’ah (merasa cukup / pandai bersyukur), Wara’ (hati-hati) dan Ikhlas (tulus). Tawadhu (rendah hati) akan tercipta jika kita merasa lemah, tak punya apa-apa di hadapan Allah sehingga jauh dari sifat sombong / angkuh. Amaliah ramadhan yang diharapkan dapat menghancurkan kesombongan yaitu ibadah shalat. Coba perhatikan bacaan takbir “Allahu Akbar” yang artinya “Allah Maha Besar”. Jika shalat wajib ada 17 rakaat ditambah tarawih 11 rakaat yang dilakukan berarti ada 28 rakaat. Jika rata-rata 4 kali takbir tiap rakaat berarti lebih 100 kali setiap hari kita mengucapkan bahwa hanya Allah yang Maha Besar, kita manusia sangat kecil, lemah tak berdaya. Harta, tahta, gelar kebangsawanan dan keilmuan semuanya rendah di hadapan Allah, bahkan diri kita sendiri pun bukan milik kita, hanya titipan dari Allah yang bisa diambilnya kapan saja jika waktunya tiba.

Lalu saat shalat kita bersujud meletakkan kepala kita setinggi lantai atau tanah. Kepala adalah simbol keagungan manusia sehingga raja-raja masa dahulu meletakkan mahkota di kepalanya. Namun di hadapan Allah kita letakkan itu di lantai, sama dengan pijakan kaki kita. Simbol ketundukan melalui sujud bermakna bahwa manujsia tidak pantas tinggi hati. Dia sama saja dengan tanah karena saat kelak meninggal kepala bersama seluruh anggota tubuh kita akan dikuburkan ke dalam tanah.

Selanjutnya amaliyah ramadhan yang pasti dilakukan yaitu berpuasa, menahan lapar dan dahaga dari subuh sampai magrib. Biasanya orang yang menahan lapar dan dahaga yaitu mereka yang fakir dan miskin, tidak punya uang untuk membeli makanan. Kerena perintah Allah, kita yang berpunya pun harus menahan lapar dan dahaga. Semoga dengan puasa kita jadi bisa berempati merasakan penderitaan orang yang lapar. Selain itu kita juga jadi pandai bersyukur karena masih banyak orang yang kurang beruntung karena tak berharta sehingga harus menahan lapan dalam jangka waktu lama. Kita masih punya makanan saat buka puasa. Ini akan melahirkan sikap qanaah (merasa cukup) atas nikmat yang Allah anugerahkan. Harta yang sedikit akan membahagiakan jika kita merasa cukup. Meskipun banyak jika kita merasa kurang maka harta yang banyak itu pun tidak membahagiakan.

Orang yang berpuasa dilarang makan, minum dan berhubungan suami istri dari subuh sampai magrib. Ketiga larangan itu adalah perbuatan yang selama ini halal dilakukan. Artinya dengan berpuasa kita melatih diri tidak melakukan sesuatu yang sebenarnya halal di luar ramadhan. Logikanya yang halal saja bisa dijauhi karena ada perintah Allah apalagi yang haram. Semoga setelah berlatih berpuasa, hidup kita jadi hati-hati untuk tidak melakukan larangan Allah. Itulah makna wara’ (hati-hati / waspada). Ada sikap hati-hati dan waspada sebelum bertindak karena patuh terhadap perintah dan larangan Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun