Mohon tunggu...
Syam Muhsin
Syam Muhsin Mohon Tunggu... Wiraswasta - ibu 3 anak yang juga berwirausaha

ibu dari 3 anak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Ekspresi di Balik Masker Bermotif Wajah

13 Juni 2020   09:49 Diperbarui: 13 Juni 2020   10:14 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya melihat kebanyakan masker yang beredar di pasaran dan masuk dalam kategori memenuhi standar kesehatan adalah masker yang menutupi mulai dari batas tulang hidung atas turun ke bawah sampai ke dagu. Otomotis tiga perempat wajah tertutupi oleh masker. Lalu bagaimana kita berkomunikasi menggunakan bahasa verbal dan non verbal dengan masker menutupi wajah? 

Bagaimana kita bisa mengetahui kalau seseorang tersenyum atau marah atau malah takut pada kita? Hal ini menarik, mengingat sebagian besar kita terbiasa berkomunikasi dengan cara melihat wajah lawan bicara kita.

Tidak bisa dipungkiri bahwa gerak tubuh mampu mengekspresikan tindakan, akan tetapi wajah adalah jendela dimana kita dapat melongok dan melihat ke dalam diri seseorang. Wajah menjadi hal pertama yang langsung menarik perhatian saat kita berkomunikasi. 

Fokus kita yang tadinya ke wajah biasanya akan langsung tertuju ke mata lawan bicara. Dari sini kita bisa melihat apakah seseorang sedang bahagia, sedih, marah, kecewa, menyesal atau perasaan lainnya. Hal itu karena mata adalah fokus utama pada wajah.

Masker dengan motif wajah membuat kita merasa berkomunikasi secara terbuka. Masalahnya adalah ekspresi wajah yang ditampilkan oleh masker ini tidak dinamis dan hanya menampilkan satu ekspresi wajah yang bisa saja menjadi penyebab seseorang salah menafsirkan maksud dari lawan bicaranya.  Tertutupnya ekspresi wajah oleh masker bermotif wajah dapat juga menyesatkan lawan bicara.

Ekspresi utuh dari manusia tidak dapat disimpulkan hanya dari gerakan mata dan alis saja. Mimik wajah yang meliputi kerutan di dahi, bentuk alis, gerakan mata, perubahan warna hidung, dan gerak bibir sesungguhnya menjadi satu kesatuan yang utuh dalam menampilkan ekspresi yang dirasakan oleh seseorang.

Kita sering mendengar istilah senyum palsu, hal itu bukan sekedar istilah belaka. Dimana terlihat senyum mengembang di wajah namun tidak di hati. Kita bisa kok belajar membedakan mana senyuman yang tulus dan mana senyuman yang palsu. 

Saya sendiri, dari banyak kali berhadapan dengan orang yang menggunakan masker akhirnya jadi terbiasa membaca ekspresi yang ditampilkan di wajah seseorang. Saya bisa mengetahui mereka yang sedang tersenyum pada saya. Beberapa garis yang muncul di sudut mata lawan bicara menjadi penandanya. Selain itu mata lawan bicara  juga jadi sedikit menyipit dan terlihat lebih menyenangkan.

Dulu barangkali kita bisa salah mengartikan maksud seseorang dengan komunikasi verbal dan terbuka. Tetapi sekarang, mengenakan masker membuat orang-orang tampil apa adanya. Seharusnya tita tak lagi bisa dengan mudah dimanipulasi lawan bicara dengan manisnya kata-kata atau body language yang palsu. 

Mereka yang mampu membaca bahasa tubuh dan ekspresi wajah, utamanya mata dan alis akan dapat melihat dengan jelas saat seseorang suka atau tidak suka berada disekitarnya. Jujur dan munafiknya seseorang dapat dilihat dengan mudah jika kita rajin berlatih membaca ekspresi wajah.

Saya berkesimpulan bahwa pandemi ini memaksa kita untuk mengasah kemampuan membaca ekspresi wajah yang tertutup masker. Kemampuan ini menjadi penting agar tidak terjadi salah pengertian dalam berkomunikasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun