Pada dasarnya aktivis pro-demokrasi yang sama memungkinkan kejatuhan Hosni Mubarak dari kekuasaan pada Februari 2011 setelah pihak militer berbalik arah dari mendukung Hosni Mubarak menjadi kekuatan yang mem-back up pada pendemo. Kini aktivis pro-demokrasi itu pula melakukan hal yang sama dan dengan campur tangan militer, hanya dalam waktu satu tahun merekapun lantas menggulingkan Presiden Mohamed Morsi.
[caption id="attachment_274326" align="aligncenter" width="509" caption="Scholarist vs Islamist in Egypt"][/caption]
Dalam kedua kasus itu para pengunjuk rasa yang membuat pemerintah rentan terhadap konflik yang mengancam keutuhan negeri Mesir. Dan dalam kedua kasus itu militer sebelumnya menyampaikan pandangan yang memberi indikasi dilakukannya tindakan militer berupa kudeta. Jika pemerintahan Presiden Morsi tidak bisa mengakhir konflik ideologis yang terus berlangsung dan mengancam perpecahan bangsa Mesir.
Satu tahun pemerintahan Presiden Mohamed Morsi menghadapkan pihak militer kepada pilihan sulit. Apakah membiarkan terjadi chaos akibat bentrokan atau melakukan intervensi yang berakibat mundurnya kehidupan demokrasi di Mesir. Tetapi 17 juta orang yang turun ke jalan menentukan bagaimana kehidupan di Mesir akan berlangsung, nampaknya bukan sesuatu yang demokratis dan lebih cenderung kepada pemaksaan kehendak secara sepihak.
Tidak ada jaminan bahwa kelompok Ikhwanul Muslimin juga tidak akan mengerahkan kekuatan demo massa yang lebih besar. Dalam kondisi seperti itu siapakah yang berani menjamin bahwa tidak akan terjadi chaos di Mesir. Sekarang hal itu benar benar terjadi setelah militer bertindak keras mengambil alih kekuasan dan akan menyelenggarakan pemilu dibawah pemerintah peralihan Adly Mansour, Ketua Mahkamah Konstitusi Mesir.
Kini negeri Kinanah ini lebih mengharapkan ketertiban dan keamanan yang stabil agar ekonomi rakyat bisa hidup dari menjual ceritera hebat sejarah dan peninggalan budaya masa lalu negeri ini. Sebagian rakyat Mesir memang mengharapkan intervensi militer ketimbang demokrasi yang menampilkan diktator mayoritas.
Filosofi tindakan militer adalah melaksanakan kewajiban menjaga keutuhan bangsa mesir. Sementara para pendemo lebih mengutamakan hak berasarkan prinsip kebebasan demokrasi. Dalam hal mana kelompok mayoritas merasa mempunyai hak menentukan standar moral masyarakat. Suatu sikap “arogan” yang dirasakan oleh kelompok sekuler dan minoritas non muslim. Suatu sikap yang mengancam kebebasan mereka. Hal ini justeru dianggap bertentangangan dengan prinsip demokrasi yang saling memberikan kebebasan antar warga negara.
Berkuasanya Ikhwanul Muslimin dengan kemenangan tipis 52% suara pada pemilu pasca jatuhnya Hosni Mubarak, jejaknya menjadi jelas terlihat dari kebijakan Presiden Morsi yang tidak memberikan jaminan bagi kelompok sekuler dan kristen Koptik untuk hidup “normal” sebagaimana sebelumnya. Kekuatan kendali Ikhwanul Muslimin semakin terasa yang mendorong lawan politiknya setuju dengan tindakan Militer Mesir dibawah Jenderal Asisi.
Kelompok sekuler mengakui bahwa Morsi dan Partai Ikhwanul Muslimin yang sebelumnya mereka dukung mewujudkan kehidupan demokratis ketika menggulingkan Hosni Mubarak. Sekarang justru mendukung tindakan militer menggulingkan Morsi yang telah melakukan pekerjaan buruk lebih dari setahun mereka berkuasa.
Meskipun kelompok sekuler memahami bahwa kudeta terakhir ini adalah kemunduran tragis bagi demokrasi, konstitusionalisme dan aturan hukum. Kami harus mengambil pilihan pahit ketimbang menyaksikan lenyapnya budaya bangsa Mesir yang plural dari peta sejarah dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H