[caption id="attachment_282617" align="aligncenter" width="570" caption="General Abdel Fattah Al Sisi "][/caption]
Ketika militer membutuhkan mandat rakyat Mesir, Jenderal Muhammad Najib mengajak Ikhwanul Muslimin untuk ikut serta dalam gerakan revolusi menggulingkan kekuasaan absolut monarki Raja Faruk I pada 23 Juli 1952. Kelompok Ikhwanul Muslimin menolak bergabung dikarenakan alasan bahwa tujuan Revolusi Juli adalah untuk membentuk Republik Arab Mesir bukan Republik Islam Mesir.
Gerakan revolusi berhasil menggulingkan monarki Raja Farouk I yang berada dibawah protektorat Inggris pasca Perang Dunia II. Bangsa Mesir merdeka dengan negara baru berbetuk Republik Arab Mesir pada 18 Juni 1953 dan mendapat pengakuan Inggris pada 1954. Mohammad Naguib mendeklarasikan kemerdekaan Mesir dan menjadi presiden pertama Republik Arab Mesir pada 18 Juni 1953, memerintah Mesir sampai dengan 14 Nopember 1954.
Sejak saat itulah saya kira pertentangan ideologis antara pihak militer dengan Ikhwanul Muslimin. Militer menganut paham liberal sekuler barat sedangkan IM menganut paham khilafah Islamiyah. Artikel ini hanya pandangan terbatas penulis mengenai konflik horizontal di Mesir saat ini.
Selanjutnya terjadi kekacauan di di Mesir karena dynasty Mohammad Ali yang diteruskan oleh Raja Farouk II melakukan gerakan perlawanan terhadap revolusi Juli dan Republik Arab Mesir. Gamal Abdel Nasser tampil sebagai pemimpin baru revolusi menggantikan Jenderal Najib, berhasil mengalahkan Raja Farouk II. Jenderal Gamal Abdel Nasser menjadi Presiden kedua Republik Arab Mesir sejak 23 Juni 1956 hingga 28 September 1970.
Nasser menuduh bahwa IM berada dibalik Raja Farouk II Karena hal itu, Jenderal Gamal Abdul Nasser menganggap gerakan Ikhwanul Muslimin menolak mandat rakyat terhadap militer dalam gerakan Revolusi Juli 1952. Militer melakukan penangkapan terhadap pemimpin IM dan memberlakukan tahanan rumah dinasti Mohammad Ali, bagi keluarga Raja Farouk II
Ketika Jenderal Anwar Sadat berkuasa pada era 70an terjadi perubahan pandangan militer Mesir, bahwa pertentangan ideologis yang berkepanjangan di dalam negeri akan menghambat pembangunan ekonomi Mesir. Secara otomatis akan menghambat pengembangan kekuatan militer Mesir. Hal ini berakibat melemahkan posisi Mesir menghadapi Israel.
Realitas ini mendorong Anwar Saddat “berdamai” dengan Ikhwanul Muslimin, membebaskan para pemimpin IM dari penjara. Sebaliknya IM dibawah pimpinan Umar Tilmisani yang menggantikan Hudhaibi pada tahun 1973 menempuh jalan kooperatif dengan tidak bermusuhan dengan penguasa.
Dipimpin Umar Tilmisani gerakan IM lebih focus kepada aspek pelayan sosial, mendidik kadernya menjadi intelektual tersebar ke seluruh dunia, mencetak mereka menjadi pemimpin masa depan Mesir. Sampai pada awal era Hosni Mobarak, kondisi stabil negara Mesir memberi peluang pemuda IM terdidik menjadi intelektual muda yang militant memperjuangkan gagasan Ikhwanul Muslimin, termasuk Mohammed Morsi.
“Morsi received his Ph.D. degree in materials science from the University of Southern California in 1982 with his dissertation High-Temperature Electrical Conductivity and Defect Structure of Donor-Doped Al2O3. He was an Assistant Professor at California State University, Northridge, from 1982 to 1985.In 1985, Morsi returned to Egypt and began to serve as the head of the engineering department at Zagazig University, where he was a professor until 2010”. Dua dari lima putera Morsi adalah warga Amerika Serikat karena dilahirkan di California. Demikian tulis Wikipedia.
Pasca kekalahan Mesir dari Israel dalam perang enam hari pada 1967 Mesir kehilangan Semenanjung Sinai dan coba direbut kembali oleh Anwar Sadat dalam perang Yom Kippur pada 1973. Saya kira langkah Anwar Sadat berdamai dengan Ikhwanul Muslimin adalah salah satu pertimbangan dalam negeri ketika bersiap untuk perang Yom Kippur melawan Israel.
Pada tahun 1977, Anwar Sadat mengadakan kunjungan ke Jerusalem atas undangan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin yang merupakan awal perundingan perdamaian antara Israel dan Mesir. Pada tahun 1978, terciptalah Perjanjian Damai Camp David. Hal ini menimbulkan kemarahan besar dunia arab. Mesir dikecam dan dimusuhi karena dianggap sebagai penghianatan terhadap perjuangan bahwa seluruh wilayah Palestina hanya untuk negara Palestina. Tidak ada sejengkal pun tanah arab untuk Israel.
Sikap negara tetangga menimbulkan gejolak dalam negeri Mesir karena berbagai eksponen gerakan Islam menentang Anwar Sadat dan berupaya menjatuhkannya. Pada September 1981, Anwar Sadat bertindak keras kepada organisasi pergerakan Islam yang dianggapnya fundamentalis, termasuk kumpulan pelajar. Tidak hanya gerakan kelompok Islam terapi semua pergerakan yang dianggapnya dapat mengganggu stabilitas nasional Mesir, termasuk kelompok gerakan Kristen Koptik juga diberangusnya. Dia menahan dan menangkap para pemimpin pergerakan tersebut yang menyebabkan Anwar Sadat dikecam di seluruh dunia.
Pada 6 Oktober 1981, Presiden Anwar Sadat tewas ditembak dalam sebuah parade militer. Selanjutnya Jenderal Hosni Mobarak naik sebagai Presiden Mesir, melakukan pembersihan dikalangan militer yang dianggapnya disusupi anggota Jihad Islam. Ini merupakan organisasi muslim Mesir berhaluan keras yang menentang perjanjian damai Camp David.
Seiring dengan perjalanan waktu, gerakan IM berhasil mendapatkan dukungan politik yang kuat dari rakyat Mesir. Teruma sekali atas keberhasilan mencetak intelektual muda Mesir sebagai kaderisasi pimpinan IM dan kepemimpinan nasional Mesir. Ketika Presiden Hosni Mubarak sudah tergolong lanjut usia. Sejatinya Ikhwanul Muslimin tinggal menunggu waktu karena faktor usia Hosni Mubarak, pergantian kepemimpinan pasti terjadi pada saat rakyat sudah “melek” dan mempunyai kesadaran politik yang jauh lebih tinggi dari era sebelumnya.
Namun muncul pertanyaan besar siapakah yang akan tampil pasca Hosni Mobarak? Spekulasi berkembang bahwa militer akan tetap mengangkangi negeri Kinanah ini untuk melanjutkan kekuasaan di Mesir. Hal ini menstimulasi pemikiran bahwa IM tidak akan kooperatif dengan militer. Sudah saatnya IM menegakkan cita cita Hasan Al Bana, mendirikan Republik Mesir sebagai negara Islam berdasarkan konstitusi Islam.
Yahudi Israel yang selalui mengintip dengan seksama membuat kalkulasi bahwa apabila IM berkuasa dan militer Mesir menjadi kuat maka ini berarti ancaman serius bagi negara Yahudi. Negeri Mesir tidak boleh stabil sebab akan menumbuhkan kekuatan militernya. Militer Mesir harus dilumpuhkan. Mulailah Isreal menghasut kelompok IM untuk dibenturkan dengan militer. Pacah Revolusi 25 Januari 2011 menjatuhkan Hosni Mubarak.
Jika IM tidak terpancing hasutan Israel dan menunggu saja sampai Hosni Mubarak tidak mampu lagi karena termakan usia. Perkembangan demokratisasi global sebenarnya memberikan kesempatan lebih besar kepada para pemimpin Ikhwanul Muslimin. Faktor utamanya adalah mayoritas rakyat Mesir mendukung IM. Ikhwanul Muslimin hanya membutuhkan kesabaran untuk mengambil alih kekuasaan di Mesir berdasarkan mandate rakyat tanpa gerakan revolusi.
Tetapi spionase Israel menghembuskan propaganda dengan kencang bahwa Jenderal Tantawi akan mengambil alih kekuasaan dari Hosni Mubarak membuat IM khawatir bahwa mereka akan kembali dibawah rezim baru militer Mesir. Artinya IM tidak akan pernah berkuasa jika tidak dengan gerakan revolusi. Gerakan revolusi melucuti kekuasaan Dewan Tertingi Militer, hampir sama meski tak serupa dengan di Indonesia. Gerakan reformasi melucuti Dwi Fungsi ABRI.
Ketika IM berkuasa melalui Presiden Mohammed Morsi segera menggusur Jenderal Tantawi, menggantinya dengan Jenderal Abdel Fatah Al Sisi pada 12 Agustus 2012. Morsi mengenal Jenderal Abdel Fatah Al Sisi sebagai pribadi muslim yang taat ibadahnya, berbicara dengan bahasa yang halus, menjadi salah satu pertimbangan pengangkatannya.Kebijakan Presiden Morsi ini menimbulkan isu baru yang dihembuskan oleh Israel kepada kelompok oposisi liberal sekuler,bahwa Jenderal Al Sisi adalah tangan Ikhwanul Muslimin menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Mesir.
Kelompok oposisi dibawah Al Baradei melakukan maneuver untuk mengujinya. Terakhir kelompok sekuler liberal menggelar demo dengan 17 juta orang turun ke jalan di seluruh negeri, menguji ke arah mana orientasi politik Jenderal Abdel Fatah Al Sisi.
Terbukti bahwa Jenderal Abdel Fattah Al Sisi tetaplah seorang tentara dengan kultur militer Mesir sebagaimana para pendahulunya. Dia mengambil keuntungan dan kesempatan berdiri di belakang kelompok oposisi dengan memberikan peringatan kepada Presiden Morsi agar bersikap akomodatif terhadap kelompok oposisi guna mengakhiri konflik ideologis rakyat Mesir.
Morsi tidak menghiraukan peringatan tersebut dan tidak mau berdialog, non kooperatif karena menang melalui pemilu demokratis. Demokrasi memang system yang sah memberikan mandate kekuasaan. Tetapi bagaimana kekuasaan itu digunakan, tentu untuk kepentingan seluruh rakyat Mesir.
Dedikasi Mohammed Morsi kepada Partai Kebebasan dan Keadilan ( Freedon and Justice Party ) berakhir, ketika ia terpilih sebagai presiden. Pengabdiannya dilanjutkan kepada seluruh rakyat Mesir, termasuk mereka yang tidak memilihnya. Kebijakan dan tindakannya tidak hanya untuk kepentingan kelompok Ikhwanul Muslimin.
Ketika Morsi menolak untuk berdialog, hal ini memang ditunggu oleh Jenderal A Sisi untuk menjadi alasan melakukan kudeta pada 3 Juli 2013. Alasan lainnya adalah kekuatiran kelompok sekuler liberal dan non muslim bahwa Kebijakan Presiden Morsi membuka lebar pintu ke Jalur Gaza akan memunculkan konflik latent dengan Israel. Berarti menghadapkan seluruh rakyat Mesir dibawah hujan roket Israel.
Bagi kelompok Ikhwanul Muslimin hal itu adalah jalan Jihad, merupakan keniscayaan. Tetapi bagi kelompok lainnya hal itu berarti kesengsaraan yang menjadi beban rakyat Mesir.
Pihak militer Mesir memang sejak awal kemerdekaan Mesir mempunyai pandangan yang sama dengan kelompok sekuler liberal. Militer dihadapkan pada pilihan sulit, mendukung Morsi yang berarti menyeret rakyat Mesir ke kancah perang menghadapi Israel. Hasilnya, kudeta militer pada 3 Juli 2013. Kelompok Ikhwanul Muslimin melalui Presiden Mohammed Morsi hanya sempat berkuasa sekitar satu tahun. Sekarang militer Mesir, dibawah komando Jenderal Abdel Fatah Al Sisi dikecam seluruh dunia sama seperti Jenderal Anwar Sadat pada 1981.
Bandingkan dengan reformasi di Indonesia. Dari sudut kepentingan Yahudi AS dan Uni Eropa, Indonesia tidak boleh stabil karena apabila peranannya semakin kuat membentuk stabilitas kawasan Asia. Berarti suatu ancaman nyata terhadap kepentingan mereka dalam persaingan ekonomi global. Kasawan Asia yang stabil akan mendorong lebih cepat pertumbuhan dan kemampuan persenjataan militer RRC.
Bandingkan juga, reformasi Indonesia digerakkan oleh kelompok Islam yang diawali dengan gerakan menentang azas tunggal Pancasila, memang berhasil mendudukanKH.Abdurachman Wahid sebagai Presiden RI. Namun selanjutnya setelah kurang lebih dua tahun, Gus Dur dilengserkan, kemudian kekuasaan dikontrol oleh kelompok nasionalis liberal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H