Mohon tunggu...
Syamsuddin B. Usup
Syamsuddin B. Usup Mohon Tunggu... wiraswasta -

Kakek dari sebelas cucu tambah satu buyut. Berharap ikut serta membangun kembali rasa percaya diri masyarakat, membangun kembali pengertian saling memahami, saling percaya satu sama lain. Karena dengan cara itu kita membangun cinta kasih, membentuk keindahan hidup memaknai demokrasi.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mereka yang Gagal di Jakarta Cenderung Menolak Foke

25 Juli 2012   06:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:39 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1343224078190370694

Mencoba tinggal di Jakarta beberapa bulan memberi kesan aneh untuk saya yang orang kampoeng. Pertama, kesan saya gaya hidup di Jakarta adalah gaya hidup temaram, samar samar , abu abu. Narsis…untuk tidak bilang sombong. Biar miskin tetapi gaya orang kaya. Perbedaan gaya hidup antara orang kaya dan orang miskin tidak kentara , masyarakat Jakarta sepertinya orang kaya semua. Meskipun sebenarnya hidup miskin tetapi gaya dan ‘ngomongannya’ tetap wah, sepertinya mau yang hebat hebat saja. Maunya, ‘tongkrongan’ seperti kalangan jet set saja, serba instan serba cepat jadi. Take it or leave….dan perkara penampilan maunya seperti selebritis.

Kedua, meskipun mengeluh tentang macet dan macet lagi, karena jumlah kendaraan pribadi melebihi kapasitas jalan dan lahan parkir. Tetapi jika ditanya kalau dapat uang banyak mau beli apa? Jawabannya tetep mau beli rumah di Jakarta tidak mau beli di daerah. Anehnya lagi meski sekarang tinggal di gang ‘kelinci’ tetap pasti mau beli mobil atau motor. Jadi kesan saya meskipun mayarakat Jakarta sebenarnya paham masalahnya tetapi cenderung tidak mau tahu. “Beli mobil urusan saya, kalau kemacetan urusannya Foke”.

[caption id="attachment_202660" align="aligncenter" width="650" caption="Banjarmasin, bustling traffic in artificial graphic ( dok.pribadi Syam Jr )"][/caption]

Ketiga, secara umum masyarakat Jakarta terdiri dari kaum ‘migran’ dari berbagai penjuru di Indonesia. Maksud saya, sebenarnya masyarakat Jakarta adalah ‘orang daerah’ tetapi manakala berada di Jakarta ia merasa punya ‘superioritas’, setidaknya merasa berbeda dengan orang daerah. Misalnya, meskipun ‘bodoh’ tetapi kalau sudah di Jakarta ia menjadi sok tahu, merasa lebih pintar dari orang daerah.
Banyak orang daerah yang masuk Jakarta dengan harapan setinggi tumpukan sampah Bantar Gebang. Banyak yang hanya menemukan kegagalan demi kegagalan dibanding ketika hidup dikampung asal daerah masing masing. Tetapi umumnya mereka maju terus pantang mundur,tidak ada yang mau balik ke habitat. Paling nanti pada saat ‘pulang mudik’ akan pamer pada warga dikampung berlagak jadi ‘orang sukses’ di Jakarta.

Keempat. Dari sisi politik, Jakarta memang diuntungkan dengan posisinya sebagai pusat kekuasaan dan yang lebih penting lagi adalah sebagai pusat berputarnya modal, pusat keuangan. Sekitar 70 persen duit republik ini numpuk di Jakarta. Jadi jelaslah terjadi banyak konflik kepentingan. Konflik politik di Jakarta sekarang yang tergambar dari persaingan pada Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2012. Adagium bahwa konflik sejatinya memberi petunjuk kemana arah uang mengalir. Bisa terlihat dengan animo warga dari manapun asal daerahnya terus meningkat untuk masuk Jakarta, ingin ikut masuk ke alur aliran uang agar dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

Mereka yang belum berhasil tak patah semangat atau mungkin lebih tepat disebut ‘pasrah’ saja tinggal di Jakarta ketimbang malu pulang kampong sebagai pecundang. Semangat tinggi yang terlihat dari cara mengkritisi dengan caci maki dan sumpah serapah sepertinya adalah refleksi dari kegagalan diri sendiri. Atau dengan kata lain, mungkin bukan berarti kegagalan Foke memimpin pembangunan Jakarta namun lebih disebabkan memang diri sendiri yang gagal dan terlempar dari persaingan panas ibukota yang kondisinya memang sudah begitu itu. Sikap politik warga yang gagal dalam persaingan ketat hidup di Jakarta ini cenderung menolak memilih kembali Bang Foke.

Mereka mau mencoba lagi dengan harapan baru, pemimpin baru….Jakarta Baru yaitu Jokowi, walaupun sebenarnya masih belum tentu juga nasib mereka akan lebih baik. “Urusan nanti ya sebagaimana nantinya lah.”

Kelima, Jakarta kota megapolititan dengan penduduk sekitar 12 juta orang adalah kota seperti lagu Tinggi Gunung Seribu Janji dari Bob Tutupoly; “Memang lidah tak bertulang. Tak berbatas kata kata. Tinggi gunung seribu janji. Lain dibibir lain dihati… Ha ha ha.Hi hi hi.

Jadi lebih baik pulang kampong karena di Jakarta memang tidak mudah.

Sapa suruh datang Jakarta…sapa suruh datang Jakarta..
sandiri suka sandiri rasa..
aduh eee mama.
Syam Jr.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun