Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan bahwa dia akan berfikir keras tentang infrastruktur dan bekerja sebaik mungkin. Berbagai pemberitaan pers belum menyebutkan pos jabatan mana secar spesifik namun diyakini beliau akan kembali memimpin Departemen Pekerjaan . Ungkapan pendek, "berfikir keras dan bekerja sebaik baiknya" yang sempat disampaikan kepada pers usai "tes kesiapan bertugas" di Puri Cikeas Indah. Meski demikian, pernyataan Pak Djoko terasa sangat pede bahwa pemikiran dan gagasan stategis beliau mampu mendukung jalannya pemerintahan KIB II 2009-2014 melaksanakan Undang Undang dari sisi pekerjaan umum.
Oke my bro, saya coba simak dari pernyataan pak menteri bahwa beliau ‘berfikir keras' yang berarti terdapat tantangan permasalahan besar dan berat. Lantas kira kira apa permasalahannya? Menurut saya terdapat banyak sekali problem berkaitan dengan pembangunan infrastruktur.
Dua diantara permasalahan itu adalah, pertama: Kemauan politik pembangunan infrastruktur dengan demographic approach atau pendekatan yang adjustable dengan tingkat kepadatan penduduk suatu wilayah.
Masalah kedua adalah; Rendahnya tingkat kesadaran public akan betapa pentingnya membangun infrastrukrur. Kemauan politik pembangunan infrastruktur dengan demographic approach berakibat terjadinya ketimpangan pembangunan infrastruktur antar wilayah. Alokasi dana APBN untuk membangun infrastruktur pada wilayah yang perpenduduk tipis akan sangat berbeda dengan wilayah yang berpenduduk padat.
Sejak jaman pak Widjoyo Nitisastro pada era orde baru hingga orde reformasi sekarang, pembangunan infrastruktur memegang prinsip benefit and cost ratio.Pembangan infrastruktur nasional sejatinya menggunakan pendekatan potensi wilayah, potential approach. Karena realitas ekonomi nasional masih sangat bertumpu pada penggarapan sumber daya alam. Indonesia masih belum mencapai perkembangan industri hi -tech, semikonduktor ,mikrocip atau industry silicon, industry perkapalan maupun dirgantara yang mampu memberikan penghasilan besar. Bahkan penghasilan industry manufaktur dalam menyumbang APBN cuma pas pas-an karena sector perdagangan yang fluktuatif.
Sampai hari ini kita masih berharap TKW terus mengirimkan devisa. Kita masih bertumpu pada sector pertambangan berbagai sumber daya alam. Kawasan Indonesia Timur yang sangat membutuhkan perencanaan strategis pembangunan infrastruktur karena alamnya memiliki potensi ekonomi, namun tingkat kepadatan penduduk wilayah ini tipis. Konsekunsinya adalah, meski Departemen PU mendukung perencanaan pembangunannya, namun akan terhambat alokasi dananya di APBN ketika masuk ke DPR.
Perbaikan dan pemeliharan jalan wilayah pantura di pulau Jawa yang setiap tahun membutuhkan dana besar demi kenyamanan pulang mudik lebaran akan lebih didukung ketimbang membangun seratus kilometer jalan baru di luar Jawa. Karena masalah jalur mudik pantura "lebih populis" dan berdampak terhadap konstituen partai. Pers akan hingar bingar jika pantura terlambat diperbaiki oleh PU, anggota DPR berteriak sebab mereka tidak mau konstituennya di wilayah padat menilai wakil mereka di DPRD lelet dan tidak akan dipilih lagi pemilu depan.
Namun pada sisi lain, siapa yang peduli realitas hari ini, bahwa meskipun perkebunan kelapa sawit menciptakan jutaan kesempatan kerja namun kenyataanya komoditi sawit terbeban ongkos pembangunan infrastrur kalau masih mau jualan. Perusahaan perkebunan diwajibkan membangun sendiri infrastrukturnya. Angkutan kelapa sawit bahkan dilarang untuk mengakses jalan public dan yang seperti ini justeru ditetapkan dengan Peraturan daerah (Perda).
Lebih ironis lagi, keberadaan sungai sebagai infrastruktur ekonomi dijadikan entitas bisnis agar pemda mendapat uang pungutan untuk PAD mereka. Inilah realitas empiris yang bertentangan dengan ilmu bahwa infrastruktur dibiayai oleh pertumbuhan ekonomi regional melalui penerimaan Pajak Negara.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu berkaitan dengan tingkat kesadaran public akan pentingnya membangun infrastruktur. Belum lagi masalah yang paling krusial adalah menyangkut ganti rugi lahan, masyarakat bertahan seperti benteng batu karang, karena memang hanya tanah yang masih tersisa, akses lain mereka tidak bisa.
Masih ada lagi masalah lain sepertinya yang berkaitan dengan pelepasan kawasan hutan, terbukanya akses yang berdampak lingkungan, arogansi sektoral dan otonomi daerah, semuanya bukan masalah ringan dan memang membutuhkan figur yang mau dan mumpuni untuk berfikir keras.
Tetapi jabatan menteri itu khan topmarkotop, apapun masalahnya mesti ada jalan keluar. Nah sekarang manakala misalnya saking kerasnya beliau berfikir tiba tiba pak Djoko menyataan akan mundur apakah masih ada yang mau menggantikannya ? Enak aaja :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H