Gemuruh tadi sore tentu bukan suara “US Air Force One”. Pesawat kepresidenan AS memang mempesona rakyat kami, namun tebaran bunga mawar merah dan putih melati di gerbang kerajaan ini kami gelar untuk kedatangan tuan Patih Pambalah Batung dan rombongan. Karena tuan tuan utusan negeri seberang yang datang hanya dengan perahu layar bertiang satu. Demikian sambutan pembuka tuan rumah oleh Patih Gajah Maya pada pertemuan bilateral Mayapait dengan Negeri Candi Laras. Tercatat bertarih pada 1349 AD.
Itulah fakta yang membuat kami kagum dan bahkan hormat dengan keberanian tuan mengharungi samudera untuk menemukan negeri Mayapait di Tanah Jawi. Kedatangan tuan mengajarkan keberanian, mengajarkan keperwiraan bagi prajurit armada angkatan laut Mayapait. Kami menyampaikan pula salut atas apapun misi yang tuan bawa kepada kerajaan besar kami.
Kedatangan tuan meminta putera raja kami untuk dinikahkan dengan puteri raja tuan di negeri seberang, bagi saya dan juga mahapatih sulit memahaminya. Kami tidak bisa melihat paras wajahnya untuk mengenali ndoro puteri karena tidak dibawa serta bersama rombongan tuan, kami sulit memperimbangkannya. Namun raja kami adalah raja yang bijaksana tidak akan menolak permintaan tuan, beliau setuju memberikan Raden Putera bernama Pangeran Tebupait.
Syaratnya cuma satu, Maharaja kami menitahkan kepada anda semua para utusan dan siapa saja tidak boleh melihat putera raja kami yang sekarang ada dalam keranda ini. Keranda ini hanya boleh dibuka ketika bersanding dipelaminan dengan ndoro puteri raja Negeri Candi Laras.
Apakah kita sepakat?
IV.
Perahu layar bertiang satu dihembus angin buritan, meluncur membelah samudera. Di lazuardi timur awan membentuk gumpalan hitam raksasa dalam tiga balur. Badai hebat pasti mengocok laut hingga berbusa. Nachoda Utama Patih Panimba Segara memerintahkan seluruh awak, prujurit, kadet dan penumpang untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk ditengah samudra. Namun bulan purnama berhasil keluar dari gumpalan awan bahkan mengusirnya jauh ke arah bintang baur bilah di timur laut..
Badai batal menyergap Prabayaksa, peraru layar bertiang satu, bulan purnama menghias langit jernih tanpa awan. Suasana menjadi romantis, akan tetapi hanya berlangsung ketika bintang aras si karantika dikaki horizon barat. Hembusan angin semakin melemah dan lemah. Perahu layar terkatung katung dilautan luas. Keanehan terjadi seperti dongeng misteri perairan Masalembu, perahu layar itu tiba tiba seperti kandas diatas pasir lembut seakan ditepi pantai. Perahu duduk manis ikut menikmati pemandangan bulan purnama yang sedang bercermin dipermukaan air laut.
Pada pagi harinya, bingun dan cemas sangat terlihat diwajah nachoda Panimba Segara dan awak perahu serta seluruh penumpangnya. Ternyata mereka masih ditengah laut dan sangat jauh dari pantai, mengapa pula perahu kandas tanpa sebab? Enam hari sudah terkatung katung dan sekarang adalam malam ketujuh sejak purnama penuh.
V.
Selikur artinya duapuluhsatu, malam ketujuh setelah purnama penuh selalu terdengar tembang si Ledong dengan suara yang teramat merdu.
Tujuh malam sudah purnama pergi.
Hanya tersisa sedikit cahayamu bulan.
Tetapi cukuplah cahyamu membelai jiwaku.
Dalam mimpiku kau kemala di puncak mahkota.
Hanya Patih Pambalah Batung yang paham bahasa Jawi, menyimak dam kagum dengan suara merdu Pangeran Tebupait yang ada dibalik tenda keranda yang diselimuti kain sutera kuning bertatah gambar burung elang kepala dua bercakar sembilan,
Setelah tembang selesai dinyanyikan, suasana kembali sepii dan hening, permukaan laut masih seperti cermin raksasa. Suara baritone Patih Pambalah Batung memecahkan keheningan malam.
Adakah maksud tertentu tuan pangeran dengan tembang indah tadi agar aku dapat memberitahukan kepada seluruh rakyatku di perahu ini. Adakah khasanah pengetahuan yang dapat memerintahkan angin berhembus, agar kami jalankan untuk meneruskan pelayaran ini.
Dongeng menyebutkan bahwa perahu Prabayaksa ternyata kandas di atas kepala naga raksasa bermahkota. Dalam mimpi Ledong perahu Prabayaksa bersinar bagai kemala bertengger diatas mahkota sang naga. Naga Mura Patimaya, penjaga parairan Masalembu meminta korban jiwa salah satu diantara empat patih yang ada di perahu Prabayaksa.
Patih Pambalah Batung, Patih Garuntung Waluh, Patih Panimba Segara dan Patih Garuntung Manau menggelar rapat gabungan, bersama seluruh perwira ditambah Amang Ical, pedagang batu emas yang membiayai seluruh ekspedisi itu.
………
Wuihhh ngantuuuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H