Pada sisi lainnya terdapat fakta yang sangat jelas menunjukan adanya perlakuan tidak adil terhadap minoritas pada tataran empirik masyarakat. Liberalisme yang katanya kebebasan, persaudaraan dan kesetaraan namun realitasnya menunjukan bahwa kebebasan itu menyandera kebebasan warga lainnya. Diberbagai pelosok negeri terjadi bentrok, ricuh , rusuh terjadi hampir setiap hari dapat disaksikan melalui tayangan televisi. Kita rasakan tiada hari tanpa kericuhan. Nampaknya pemerintah menganggapnya sebagai dinamika perubahan paradigma, sebagai proses perubahan menuju masyarakat yang maju karena bangsa ini sedang dalam tahap belajar berdemokrasi.
Pandangan pemerintah mungkin didasari dengan pendekatan intelektual matematis, pendekatan kuantitas, pendekatan statistik. Argumentasinya, jika dihitung dengan prosentasi penduduk Indonesia yang berjumlah 251.857.940 orang dibandingkan dengan berapa jumlah yang ricuh rusuh prosetasinya kecil sekali.
Nampaknya masalah ini tidak didasari dengan pendekatan azas Kemanusian yang adil dan beradab yang terkandung dalam Panca Sila. Upaya penyelesaian dilakukan cukup dengan menghimbau. Karena keputusan mayoritas menentukan otonomi daerah sehingga tangung jawab utama untuk mengatasi masalah rusuh ricuh ini titik beratnya ada pada pemerintah daerah otonom.
Dalam konteks ini timbul pertanyaan, dimanakah Panca Sila sebagai Jiwa dari konstitusi negara diletakkan, kemanakah Panca Sila sebagai filosofi kehidupan bernegara dicampakan? Melalui Pemilu 2014 mari kita kembalikan Panca Sila kedalam tatanan kehidupan kenegaraan.
Salam.