Mohon tunggu...
Syamita Azzahara
Syamita Azzahara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Dosen Pengampu : Indri Arrafi Juliannisa, SE., ME

Saya seorang Mahasiswi di salah satu PTN di Jakarta Selatan, mengambil program studi Ekonomi Pembangunan dan saat ini sedang menempuh pendidikan di semester 3.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Era Pandemi

27 Oktober 2021   16:46 Diperbarui: 27 Oktober 2021   16:48 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi Covid-19 yang mulai dideteksi pertama kali di Indonesia pada 2 Maret 2020 memberikan berbagai implikasi dan dampak pada berbagai sektor, tak terkecuali sektor ketenagakerjaan.

        Kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat yang diterapkan pemerintah membuat berbagai kegiatan ekonomi di dalam negeri lumpuh terkecuali sektor esensial. Hal ini membuat banyak perusahaan mengalami krisis finansial yang membuat mereka harus melakukan efisiensi anggaran. Salah satu bentuk efisiensi yang mereka lakukan adalah dengan melakukan pemutusan hubungan kerja kepada para karyawannya.

Alasan beberapa perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) selama masa pandemi diantaranya karena permintaan pasar yang mengalami penurunan sangat drastis akibat penerapan PSBB, adanya keterbatasan bantuan modal, serta keterbatasan cash-flow untuk membiayai upah tenaga kerja yang merupakan komponen biaya tertinggi pada perusahaan.

      Seperti adanya lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi belakangan ini, mengharuskan pemerintah mengambil kebijakan untuk menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang berlanjut ke PPKM Level 4, 3, dan 2 yang saat ini berlangsung.

      Hal itu mengakibatkan sejumlah tempat perbelanjaan dan tempat usaha lainnya ikut tercekik, sebab pembatasan kegiatan masyarakat ini menutup sejumlah sektor ritel hingga mengharuskan mereka gulung tikar. Di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengungkapkan keresahan berkenaan jumlah pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang tahun ini. Adapun per tanggal 7 Agustus 2021 lalu, pekerja yang mengalami PHK tercatat mencapai 538.305 orang.

Hal itu disampaikan oleh Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri, pada Kamis, 12 Agustus 2021. Indah menjelaskan, jumlah itu telah melebihi 50 persen dari perkiraan Kemnaker untuk angka PHK pada tahun ini yang sekitar 895.000 orang. "Sampai 7 Agustus 2021 sebanyak 538.305 pekerja sudah mengklaim Jaminan Hari Tua (JHT) berarti sudah terkena PHK. Hal ini membuat kami resah," tutur Indah Anggoro Putri, dalam Integrity Constitutional Discussion di Jakarta, Kamis, 12 Agustus 2021.

Dampak PHK sangat berpengaruh terutama dalam hal pendapatan dan perekonomian dalam kehidupan masing-masing rumah tangga. Banyaknya kepala keluarga yang di PHK menimbulkan permasalahan seperti pemasukan yang berkurang atau bahkan hilang sama sekali.

Upaya pemerintah dalam mengatasi dampak PHK akibat pandemi Covid-19 ini salah satunya melalui pengoptimalan program Kartu Prakerja. Program ini diprioritaskan bagi seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) yang berstatus pengangguran, karyawan dan wirausahawan yang merupakan korban PHK serta masyarakat yang berusia minimal 18 tahun dan tidak sedang mengikuti pendidikan formal. Melalui program Kartu Prakerja, pemerintah memberikan bantuan biaya pelatihan dan insentif sebesar Rp. 3.550.000.  

Dalam pelaksanaan program Kartu Prakerja, ada beberapa aspek yang perlu lebih diperhatikan yaitu peserta tidak diarahkan ke industri atau sektor unggulan baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Maka, sangat diperlukan langkah-langkah dari pemerintah dalam menetapkan program yang relevan dengan kebutuhan industri unggulan untuk memetakan keahlian-keahlian yang dibutuhkan calon pekerja agar dapat efektif meningkatkan produktivitas selama pelatihan.

Di tingkat nasional bagi pelaku usaha UMKM, bantuan berupa pembiayaan melalui penerbitan surat utang khusus atau bonds juga diberikan oleh pemerintah. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan, obligasi negara untuk UMKM nantinya berfungsi untuk menambah likuiditas kepada pelaku usaha serta nasabah yang mengalami kesulitan pembiayaan rutin.

Dalam hal ini, implementasi penerbitan surat utang khusus perlu dicermati oleh pemerintah sebab jika kurang tepat sasaran dapat menyebabkan moral hazard dan menambah beban keuangan pemerintah baik untuk saat ini hingga di masa mendatang. Penggunaan dana harus difokuskan untuk menjaga daya beli selama masa pandemi serta memperbaiki sisi fundamental dalam negeri seperti menjadi modal sosial masyarakat.

Bagi para tenaga medis yang menangani pasien Covid-19 dan telah menjadi garda terdepan dalam penanganan virus corona, Sri Mulyani Indrawati menyatakan akan mengalokasikan anggaran untuk asuransi sekaligus insentif tenaga medis yang diberikan antara lain untuk dokter spesialis sebesar Rp. 15 juta, dokter umum dan dokter gigi sebesar Rp. 10 juta, bidan dan perawat sebesar Rp. 7,5 juta, dan tenaga medis lainnya sebesar Rp. 5 juta.

Sampai separuh tahun 2021 ini, persentase penyaluran pencairan insentif tenaga kesehatan masih belum mencapai 20 persen. Tandanya baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu segera menyetujui usulan pembayaran insentif dan mempercepat proses pencairan anggaran untuk membantu para tenaga medis di berbagai daerah.

Menurut Airlangga, sejumlah skema stimulus yang dikeluarkan oleh pemerintah kepada pengusaha terus diupayakan agar dapat menjaga kemampuan perusahaannya untuk membayar kewajiban berupa THR dan salah satunya adalah pemberian pembebasan atau pengurangan pembiayaan pajak.

Namun stimulus tersebut dianggap tidak akan cukup efektif karena akan menyebabkan defisit APBN meskipun mendapat apresiasi dari sisi pekerja.  Untuk menyiasati berkurangnya pendapatan negara, pemerintah perlu menurunkan target pajak di APBN dan selektif dalam menentukan pembatasan relaksasi pajak.

Kebijakan kebijakan yang sudah dikeluarkan pemerintah di masa pandemi ini khususnya yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dirasa masih kurang efektif karena pada kenyataannya kebijakan ini belum dapat dirasakan oleh seluruh pekerja yang terkena dampak Pemutusan hubungan kerja. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pun hanya berupa rangsangan secara jangka pendek saja tetapi untuk masalah jangka panjang terkait nasib para korban pemutusan hubungan kerja dan keluarganya tidak diperhatikan.

Berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah PHK yang telah dicanangkan dan dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia tentunya harus direalisasikan dan terus dipantau dalam implementasinya agar tepat sasaran dan para pengusaha maupun pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19.  Sebab implementasi kebijakan merupakan aspek kunci dan vital dari keseluruhan proses kebijakan.

Muhamad Rian Setiawan -- 2010115014

Syamita Azzahara -- 2010115008 

Dosen Pengampu : Indri Arrafi Juliannisa, SE., ME

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun