Pendahuluan
Tindakan afirmatif (Affirmative Action) merupakan suatu kebijakan khusus untuk menghilangkan diskriminasi yang telah lama terjadi dalam berbagai tatanan. Seringkali orang mengatakan bahwa tindakan afirmatif merupakan tindakan yang diskriminatif positif karena membuat "privilege" tertentu terhadap suatu kelompok atau golongan.Â
Nyatanya, tindakan ini justru banyak digunakan di berbagai negara sebagai tameng untuk mengatasi keadaan sosial yang diskriminatif dan terdapat banyak ketidaksetaraan.Â
Sejatinya, untuk mengatasi segala bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan yang terjadi pada kelompok yang dianggap minoritas maka diperlukan sebuah tindakan khusus.Â
Terutama untuk negara-negara liberal yang menganut paham kebebasan dan kesetaraan individual maka seringkali menggunakan affirmative action untuk merealisasikan ini kebebasan dan kesetaraan individual. Affirmative action dapat dikatakan sebagai tindakan yang pada akhirnya melahirkan kesempatan terhadap kelompok atau golongan yang terdiskriminasi.Â
Contohnya seperti kaum perempuan yang terdiskriminasi posisinya diberbagai bidang. Affirmative action adalah upaya yang diambil oleh pemerintah atau lembaga untuk mengkompensasi ketidaksetaraan dan diskriminasi yang dialami oleh kelompok tertentu, termasuk perempuan marjinal dengan memberikan kebijakan khusus yang mendukung akses yang lebih baik ke berbagai aspek sosial, ekonomi, dan politik.
Menurut seorang ahli yaitu Elizabeth S. Anderson, Affirmative Action merupakan kebijakan yang bertujuan sebagai berikut:
- Cara atau upaya untuk menghilangkan hambatan sosial terhadap kelompok minoritas yang terjadi akibat dari faktor sejarah terhadap ketidakadilan yang terjadi pada kelompok minoritas
- Sebagai cara untuk mempromosikan masyarakat yang terdiskriminasi dengan cara inklusif sehingga syarat dari demokrasi dapat tercapai
- Sebagai cara untuk mendapat kesetaraan tiap manusia entah berdasar klasifikasi identitas seperti etnis, gender, orientasi seksual, ras maupun lain sebagainya.
Dalam ranah internasional, Affirmative Action mulai terkenal di abad ke-20. Banyak negara di dunia yang melakukan Affirmative Action untuk mengatasi ketidaksetaraan.Â
Kanada juga melakukan Affirmative Action dalam Canadian Charter of Rights and Freedoms dan The Canadian Employment Equity Act. Hal tersebut berupa peluang khusus yang dibuat untuk beberapa golongan seperti kelompok minoritas, perempuan, masyarakat aborigin, dan masyarakat tidak mampu.Â
Selain itu, ada juga negara yang melakukan tindakan afirmasi dalam bidang pendidikan seperti Korea Selatan, Malaysia, dan China. Ketiga negara tersebut memberikan kebijakan khusus kepada minoritas untuk masuk ke universitas negeri tanpa proses seleksi. Sementara, di Indonesia juga tidak jauh berbeda dengan negara lain. Indonesia melakukan Affirmative Action untuk kaum perempuan.Â
Perempuan di Indonesia dapat menjadi salah satu contoh kelompok marjinal di Indonesia. Kelompok marjinal adalah kelompok yang secara historis telah menghadapi diskriminasi dan ketidaksetaraan dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Mereka seringkali menghadapi kesulitan dalam mengakses pendidikan, layanan kesehatan, pekerjaan yang layak, serta berpartisipasi dalam proses politik.Â
Sebagai respons terhadap tantangan ini, Affirmative Action dapat memainkan peran yang signifikan dalam membuka pintu-pintu kesempatan yang sebelumnya tertutup. Salah satu cara pengimplementasian Affirmative Action tersebut melalui kuota dalam berbagai bidang.Â
Misalnya, dalam dunia politik yaitu terkait kuota 30% dalam parlemen. Dengan memiliki suara yang lebih kuat dalam politik, perempuan dapat memperjuangkan isu-isu yang berkaitan dengan hak-hak mereka dan memengaruhi perubahan positif dalam kebijakan publik.
Affirmative Action Perempuan dalam Politik
Peran perempuan dalam politik di Indonesia selama bertahun-tahun telah menghadapi berbagai tantangan. Rendahnya partisipasi perempuan dalam politik menjadi sebuah tantangan dalam dunia politik Indonesia. Tantangan tersebut berupa minimnya jumlah perempuan yang ikut partai politik dan kurangnya wakil perempuan di parlemen.Â
Hal tersebut menjadi sebuah pokok permasalahan yang kompleks karena adanya faktor budaya yang mempengaruhi. Faktor budaya tersebut ialah patriarki yang di mana menjadikan seorang Perempuan tidak dipercaya untuk memimpin. Untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dalam partai politik, Affirmative Action dapat menjadi langkah penting.Â
Salah satu langkah yang diambil pemerintah adalah terkait penerapan hukum yang menyatakan bahwa keterwakilan perempuan dalam legislatif minimal 30% dari jumlah seluruh calon anggota legislatif seperti DPR dan DPRD. Hukum ini yang membuat keterwakilan perempuan di politik yang sebelumnya hanya sedikit menjadi bertambah dan perempuan diberikan jumlah bangku khusus dalam pemerintahan legislatif oleh negara Indonesia.
Pertama kali tindakan afirmatif di Indonesia dilakukan pada tahun 2003. Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang ini memuat ketentuan tentang keterwakilan perempuan dalam parlemen.Â
Ketentuan terkait kewajiban partai politik untuk mengajukan calon legislatif perempuan dalam urutan calon sebanyak minimal 30% dari jumlah calon yang diajukan dijelaskan di Pasal 65 Ayat (1). Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan adanya representasi perempuan yang lebih signifikan di parlemen.Â
Kemudian, tindakan afirmatif tersebut makin diperkuat dengan adanya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Pasal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%".
Usaha Partai Politik untuk Memenuhi Kebijakan Afirmatif
Kebijakan afirmatif terkait keterwakilan perempuan 30% membuat peluang besar bagi perempuan untuk masuk partai politik. Kebijakan tersebut dapat dijadikan sebuah perkembangan pesat perempuan dalam partai politik. Partai politik juga berbondong-bondong merekrut kader perempuan. Selain memang dibutuhkan dalam partai, juga untuk memenuhi ketentuan 30% untuk pencalonan.Â
Sejatinya, kehadiran Perempuan dalam partai politik sudah ditentukan dari hukum yang tertera yaitu pada Pasal 20 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pasal tersebut dengan jelas menyatakan bahwa Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing"
Salah satu partai politik yang gencar untuk memenuhi kebijakan tersebut dan merekrut kader perempuan adalah partai PDI Perjuangan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau yang biasa dikenal dengan PDI-P merupakan salah satu partai politik terbesar di Indonesia. Seperti apa yang telah kita lihat, sepak terjang Partai PDI-P tidaklah mudah.Â
Perjalanan partai tersebut penuh dengan tantangan sejak awal berdiri hingga saat ini, berkat tekad bersama dari para pemimpin partai yang menginginkan perubahan positif. Saat ini, partai PDI-P mulai memberikan perhatian khusus pada isu kesetaraan gender dengan cara melibatkan perempuan dalam proses rekrutmen. Dalam proses rekrutmen kader perempuan, sejatinya partai PDI-P tidak memiliki aturan atau kriteria khusus.Â
Jadi, proses rekrutmen terbuka untuk perempuan berbagai kalangan. Dalam proses rekrutmen juga tidak dipungut biaya sehingga mempermudah kesempatan bagi siapapun yang ingin mendaftar. Selain itu, PDI-P juga menciptakan sayap-sayap partai yang berfungsi untuk menyiapkan kader-kader berkualitas serta untuk menyalurkan dan memfasilitasi aspirasi masyarakat dibentuk.
Dilihat dari studi kasus PDI-P Lampung, para dewan memiliki strategi-strategi khusus untuk menarik para perempuan untuk masuk ke dalam partai. Diantara, yang pertama dengan menampilkan sosok figure atau kader-kader terbaik yang dimiliki oleh PDI Perjuangan. Kedua, melalui mulut ke mulut (Person to Person) atau dengan menarik langsung dari pihak keluarga dan teman untuk turut bergabung.Â
Selain itu, program kaderisasi untuk anggota internal disiapkan oleh Dewan Pimpinan Daerah PDI-P Provinsi Lampung. Kaderisasi tersebut sebagai salah satu implementasi pendidikan politik yang mana berfungsi untuk memenuhi fungsi utama dari partai politik.
Tidak jauh berbeda dengan partai PDI-P, partai PKS di Jepara juga kerap melakukan peningkatan dalam pemenuhan kuota perempuan dalam partai politik. Partai PKS melakukan rekrutmen melalui dua sistem yaitu sistem sukarela dan sistem sosialisasi. Sistem sukarela yaitu setiap orang bebas dan berkesempatan untuk mendaftarkan diri sebagai anggota sedangkan sistem sosialisasi merupakan cara di mana kader PKS mendatangi orang-orang yang dianggap berkompeten untuk direkrut menjadi anggota partai.Â
Namun, memang setelah perempuan masuk menjadi anggota di PKS maka memiliki kritera tertentu. PKS memiliki setidaknya lima ciri sederhana untuk kader perempuannya yaitu Ash-Shalah (menjaga sholat), At-Tilawah (menjaga tilawah), Al-Jundiyah (mesegerakan perintah dari pemimpin yang baik) serta Al-Akhlaq (memiliki akhlaq yang baik). Setelah kader perempuan diberikan pelatihan dan menjadi kader aktif maka mereka memasuki fase pengorganisasian di mana perempuan siap berkompetisi dengan laki-laki. Disini, kader perempuan bebas dan bersaing sehat dengan kader laki-laki untuk mendapati posisi strategis dalam internal partai PKS.
Begitu juga dengan PKS di Kota Depok. PKS Kota Depok juga menggunakan sistem sukarela dalam perekrutan anggota perempuan. Hal tersebut diimplementasikan melalui adanya program-program untuk perempuan. Salah satu program tersebut ialah Rumah Keluarga Indonesia (RKI). Selanjutnya, untuk pembinaannya terdapat pembinaan berbasis komunitas seperti rumah baca dan kelompok pelatihan kuliner UMKM. Sampai di mana, konsistensi perempuan tersebut terlihat dan akan dilanjutkan ke ranah lebih lanjut yaitu Unit Pembinaan Anggota (UPA). Bahkan, untuk pemilu 2024 mendatang, partai PKS Kota Depok juga sudah memenuhi ketentuan 30% keterwakilan perempuan dalam pencalonan calon legislatif. Terpenuhinya keterwakilan tersebut dengan karena hasil dari adanya program-program yang pada akhirnya menjadi tahapan kaderisasi untuk perempuan di PKS. Jadi, memang perempuan di PKS, diberikan kesempatan yang besar dan alur birokrasi yang tidak rumit sehingga keterwakilan perempuan 30% di dalam partainya juga tidak sulit untuk dicapai.
Kesimpulan
Pada dasarnya, Affirmative Action merupakan langkah yang tepat untuk mengatasi ketidaksetaraan terhadap kaum perempuan. Apalagi untuk terjun dalam politik, perempuan masih dipengaruhi oleh faktor internal diri mereka dan faktor eksternal budaya sehingga seringkali terhambat. Dengan mengadopsi Affirmative Action untuk perempuan, Indonesia dapat bergerak menuju masyarakat yang lebih inklusif, adil, dan setara. Ini adalah langkah penting dalam upaya mempromosikan hak asasi manusia, mengurangi ketidaksetaraan gender, dan menciptakan masyarakat yang lebih makmur secara keseluruhan. Dapat dilihat dari studi kasus yaitu Partai PDI-P Lampung serta PKS Jepara dan Kota Depok, yang mana gencar meningkatkan keterwakilan perempuan dalam partainya masing-masing. Kedua partai tersebut pada dasarnya menggunakan strategi yang tidak jauh berbeda. Seperti strategi sosialisasi, person to person, dan sukarela. Strategi-strategi tersebut cukup membantu partai untuk memenuhi ketentuan keterwakilan perempuan dalam partai. Seperti contohnya yang terjadi di PKS Kota Depok, yang mana sudah terpenuhinya ketentuan 30% keterwakilan perempuan dalam pencalonan calon legislatif untuk pemilu 2024 mendatang.
Daftar Pustaka
Ditri, A. R. (2022). Strategi Rekrutmen Kader Perempuan Partai Demorasi Indonesia (PDI Perjuangan) Dewan Pimpinan Daerah Provinsi Lampung (Doctoral dissertation, UIN RADEN INTAN LAMPUNG).
Haryati, E. (2017). Partisipasi Politik Perempuan dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Kabupaten Jepara. Journal of Politic and Government Studies, 6(04), 101-110.
Karonika, M. (2016). Perempuan Dan Politik (Analisis Peran Anggota Dewan Perempuan Dalam Fungsi Legislasi Di Dprd Kota Depok Periode 2014-2019) (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).
Mulyono, I. (2010). Strategi meningkatkan keterwakilan perempuan. Makalah Disampaikan dalam Diskusi Panel RUU Pemilu-Peluang untuk Keterwakilan Perempuan, Jakarta, 2.
Sayuti, H. (2013). Hakikat Affirmative Action dalam Hukum Indonesia (Ikhtiar Pemberdayaan yang Terpinggirkan). Menara Riau, 12(1), 41-47.
Sunaryo, B. (2014). Nilai Penting Konsep Affirmative Action Policy Dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Berbasis Merit. Civil Service Journal, 8(1 Juni).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H